Total Tayangan Halaman

Translate

Selasa, 31 Desember 2013

Michael Schumacher: Real Human, Real Fighter

Pagi ini (Senin, 30 Desember 2013), aku memulai hari dengan optimisme yang tak biasanya, karena hanya tinggal dua hari menjelang tahun 2013 akan berakhir, sehingga aku ingin mengakhiri tahun ini dengan semangat dan optimisme melimpah. Namun sebuah pesan singkat kuterima dari sahabatku perihal kecelakaan Michael Schumacher. Aku yang semula bersemangat memulai aktivitasku tentu saja terkejut. Aku membaca dengan cepat, menelusuri setiap huruf yang sedikit demi sedikit menguapkan semangat optimismeku yang kubangun saat bangun pagi. 

Berbagai artikel berita kemudian dikirim sahabatku. Kesemua berita mengabarkan mengenai kecelakaan yang dialami Michael Schumacher, juara dunia F1 tujuh kali, saat tengah bermain ski bersama putranya yang berumur Mick, yang berumur 14 tahun di Meribel Resort, Alpen, Perancis. Ia terjatuh dari tebing saat tengah meluncur di atas salju dan kepalanya membentur batu.

Setelah kecelakaan, Michael dikabarkan masih sadar meski agak terguncang. Ia dikawal oleh dua polisi patroli di arena ski dan segera dibawa ke Moutiers, rumah sakit terdekat. Namun tak lama kemudian Michael dilarikan ke rumah sakit yang lebih besar di Grenoble, sebelah tenggara Perancis. Awalnya setelah kecelakaan, Michael sempat sadar hingga ia dibawa ke Moutiers yang tak jauh dari resor ski Meribel, tapi kemudian kondisi Michael memburuk dan saat tiba di rumah sakit di Grenoble, Michael Schumacher sudah koma. Ia mengalami trauma dan pendarahan pada otaknya sehingga harus dioperasi. Pasca operasi kondisinya masih buruk dan tim dokter yang menanganinya menyatakan bahwa kondisinya sangat kritis dan serius. Michael hingga saat ini dikabarkan masih kritis. Untuk mengistirahatkan otaknya, Michael saat ini dikondisikan dalam keadaan koma dengan suhu yang diatur rendah.

Jean Todt, sahabat yang juga mantan bos tim Ferrari, tempat Michael bernaung dan mempersembahkan lima gelar dunia F1 untuk tim asal Maranello, Italia ini, dikabarkan langsung datang ke Grenoble. Begitu pula Ross Brawn, mantan direktur teknik Ferrari dan bos tim Mercedes, yang juga merupakan orang terdekat Schumi, dikabarkan saat ini juga berada di Grenoble untuk mendampingi pebalap sekaligus sahabatnya ini melewati masa kritisnya.

Dalam karir balap F1 Michael Schumacher, nama Ross Brawn memang tak bisa dipisahkan darinya. Michael mulai bekerjasama dengan Brawn saat membalap untuk Benetton pada 1991. Dari kerjasama mereka di Benetton ini, Michael sukses menggondol dua gelar dunia di tahun 1994 dan 1995. 

Tahun 1996 Michael hijrah ke Ferrari. F310 saat itut tak terlalu bagus, meski begitu Michael sempat meraih tiga kemenangan. Atas sarannya, Ross Brawn dan Rory Byrne disabot dari Benetton. Byrne saat itu sebenarnya sudah ingin pensiun tapi Schumi berhasil membujuknya untuk menunda pensiunnya. Tak sia-sia. Dengan kehadiran Brawn dan Byrne ditambah tangan dingin Jean Todt, Ferrari dan Michael Schumacher tak terkalahkan. Schumi sukses menambah lima gelar juara dunia yang direngkuhnya secara berturut-turut dari tahun 2000-2004. 

Di pertengahan musim balap 1999, Schumi sempat mengalami kecelakaan parah saat balapan di Silverstone, Inggris. Saat itu ia mengalami patah kaki dan karir balapnya hampir berakhir. Tapi ia beruntung. Ia berhasil diselamatkan. Bukan hanya nyawanya tapi juga karir balapnya. Bahkan usai pemulihan pasca kecelakaan di Silverstone ini, Schumi seperti mendapat energi baru. Terbukti di GP Malaysia, balapan pertamanya setelah kecelakaan di GP Inggris, Schumi tampil cemerlang dan sukses mengantarkan Ferrari meraih gelar dunia konstruktor. Tahun berikutnya, Schumi mengawali masa keemasannya bersama Ferrari. Ia tampil dominan dan meraih lima gelar dunia berturut-turut sebelum akhirnya pensiun di akhir musim 2006. 

Tiga tahun pensiun dari F1, ia sempat menjajal arena balap motor dan pada Februari 2009, ia mengalami kecelakaan motor di Spanyol yang mengakibatkannya mengalami cedera leher dan tulang belakang. Pulih dari cedera ini, Michael kembali ke ajang F1 bersama tim Mercedes yang dikomandani Ross Brawn. Sayang ia tak meraih kesuksesan seperti di masa paruh pertama karir F1-nya. Akhirnya setelah tiga tahun bersama Mercedes, ia memutuskan pensiun di akhir musim 2012 setelah hanya sempat meraih satu kali podium. Di sesi kualifikasi GP Monaco tahun lalu, Schumi sempat mencatat waktu tercepat dan meraih pole position, sayangnya karena kecelakaan di balapan sebelumnya, ia terkena penalti sehingga posisi polenya harus melayang begitu saja.

Salah satu dokter yang sangat berperan dalam kesembuhannya dari kecelakaan di GP Inggris itu adalah Professor Gerard Saillant. Ia dokter ahli bedah otak dan cedera tulang belakang. Sejak itu Michael dan Professor Saillant bersahabat. Professor Saillant juga turut berperan dalam pemulihan cedera leher dan tulang belakang tersebut. 

Saat Michael mengalami kecelakaan di resort ski Meribel, hari Minggu kemarin, Professor Gerard Saillant langsung dikabari dan terus memantau perkembangannya. Bahkan kabarnya Professor Gerard Saillant-lah yang memerintahkan membawa Michael ke Grenoble. Kehadiran Professor Gerard Saillant ini pula yang membuat pers menyadari bahwa kondisi Schumi benar-benar kritis. 

Kepada pers yang senantiasa menunggu perkembangan kondisi Schumi, Professor Saillant menyatakan, "(dalam) Kecelakaan semacam ini, untung usianya 45 tahun (tanggal 3 Januari nanti, Schumi akan berulangtahun yang ke-45), yang mana (jauh) lebih baik (untuk pulih) dibanding bila usianya lebih tua."

Sabine Kehm, juru bicara Michael Schumacher kepada media menegaskan bahwa saat kecelakaan itu, Michael mengenakan helm dan tidak sendirian. Hal mana sedikit membantu sehingga saat mengalami kecelakaan itu, Michael segera mendapat perawatan dan pertolongan pertama. 

Michael saat ini ditangani oleh tim dokter ahli yang dikepalai oleh Professor Stephane Chabarde, dokter ahli bedah otak dan Professor Jean - Francois Payen, Dokter Kepala Anestesi. 

Menurut Profesor Payen, kondisi Michael yang saat kecelakaan mengenakan helm ini juga sedikit membantu. "Tanpa helm (itu), ia tidak akan berada di sini sekarang," demikian pernyataan Professor Payen. Namun Professor Payen menolak menjelaskan efek yang akan terjadi pasca operasi ini. Ia hanya menegaskan bahwa tim dokter bekerja keras jam-demi-jam untuk memulihkan Schumi. 

Kondisinya yang fit, bukan rahasia umum, meski Michael sudah pensiun dari dunia balap tapi ia masih menjaga tubuhnya tetap fit, bahkan dari catatan waktu Hamilton, yang menggantikannya di tim Mercedes yang tak beda dengan Michael saat tiga tahun membalap untuk tim tersebut memperlihatkan betapa fit-nya Michael Schumacher bahkan untuk orang seusianya. Kondisinya yang fit ini dianggap tim dokter yang menanganinya akan sangat membantunya untuk pulih dari krisis ini.

Setelah kabar kecelakaan ski yang dialami Michael Schumacher diiringi berita kondisinya yang masih kritis. Sejumlah komentar yang intinya berisi doa dan harapan agar Michael Schumacher segera pulih ramai menghiasi media sosial. Sejumlah mantan pebalap, yang sempat menjadi pesaingnya, pebalap yang masih aktif saat ini, komunitas F1 hingga para fansnya ramai mengungkapkan keprihatinan dan doa untuknya. Salah satunya adalah Martin Brundle, mantan rekan setimnya di Benetton pada tahun 1992 dan 1993 yang dalam akun twitternya mengatakan, "Come on Michael, give us one of those race stints at pure qualifying pace to win through, like you used to. You can do it."

"Come on Michael, give us one of those race stints at pure qualifying pace to win through, like you used to. You can do it."

Sepanjang karir balapnya di F1, Michael Schumacher dikenal sebagai pebalap yang sangat disiplin dan memiliki semangat juang yang sangat tinggi dan pantang menyerah. Semangat juang Michael inilah yang diharapkan oleh banyak pihak yang bisa membawa Michael melewati masa kritis dan segera pulih. 

Rob Smedley, engineer Ferrari merupakan salah satu yang mengungkapkan harapannya semoga semangat juang Michael yang tak pernah menyerah meraih kemenangan berhasil mengatasi masa kritisnya saat ini. 

"What he represented was the fight, the spirit and the absolute determination to win. Second was never good enough. He pushed everyone else along, and that's what's giving me a lot of hope right now. He's lying in a hospital bed in Grenoble and he needs that fighting spirit to pull through." 

Aku jadi teringat, dalam sebuah artikel, rasanya aku pernah membaca bahwa Michael Schumacher yang bersama istrinya, Corinna Betsch dan dua anak mereka, Gina Maria dan Mick, tinggal di Swiss, selain menyukai olahraga balap juga gemar bermain ski. Rasa-rasanya pula, aku pernah membaca dalam sebuah wawancaranya, Michael sempat ditanya apakah putranya, Mick akan mengikuti jejaknya menjadi pebalap F1. Waktu itu Michael agak tertegun sejenak sebelum akhirnya menjawab. Ia menyatakan bahwa ia tak berharap putranya mengikuti jejaknya menjadi pebalap F1 karena tak ingin putranya hidup sengsara dalam bayang-bayang nama besarnya. Ia banyak melihat beberapa rivalnya, yang merupakan putra pebalap hebat begitu kesulitan membuktikan diri dan keluar dari bayang-bayang nama besar ayah mereka. Itu pula agaknya yang membuatnya lebih suka anaknya memilih olahraga yang lain, meski ia tak bisa mengelak dan akan membiarkan bila ternyata putranya nanti akan memilih karir yang sama dengannya. Sambil tertawa ia menambahkan bahwa putranya sangat hebat bermain ski dan bahkan ia sendiri kalah dari putranya. 

Namun aku seperti banyak fans dan orang-orang dekat Michael Schumacher, berharap Michael tidak akan kalah dalam pertempurannya kali ini untuk tetap hidup. Satu hal yang membuatku begitu mengagumi Michael Schumacher dan membawaku menyukai F1 (tapi sejak pensiun Michael yang kedua kalinya tahun lalu setelah tiga tahun yang tak mengesankan bersama tim Mercedes, kesukaanku pada F1 ikut menguap, karena bagiku F1 tanpa Michael Schumacher takkan pernah sama lagi) adalah semangat juangnya yang pantang menyerah. Ia suka membawa dirinya melewati titik batas yang bahkan tak bisa dibayangkan seorang manusia pun. Walau bagi sebagian orang, Michael dianggap egois dan arogan tapi sesungguhnyalah tak ada yang bisa menampik bahwa Michael Schumacher adalah juara sejati. Dalam keadaan seburuk apapun, ia tak pernah menjelekkan timnya. Seburuk apapun mobilnya, ia mencoba memahaminya dan membawa mobilnya mencapai garis finish. Tak pernah ia mengeluarkan komentar yang akan menurunkan semangat timnya, karena ia tahu, kesuksesan itu tak bisa digapainya seorang diri. Itu pula sebabnya, semua orang yang pernah bekerja bersamanya sangat menghormatinya. 

Saat ia tersandung masalah team order di GP Austria hingga membuatnya jadi bulan-bulanan publik yang seolah menggambarkannya sebagai sosok ambisius egois yang suka mengorbankan orang lain. Publik seolah lupa kalau F1 adalah olahraga tim dan team order dalam olahraga ini adalah kemutlakan demi kesuksesan tim. Michael bukanlah orang pertama yang menikmati tim order ini, bahkan Michael pun pernah pula harus mendukung rekan setimnya untuk meraih gelar dunia. Eddie Irvine di musim 1999 tengah bersaing ketat dengan Mika Hakkinen. Di GP Malaysia, usai pulih dari cederanya akibat kecelakaan hebat di Silverstone, pertengahan musim itu, Michael memainkan peran sebagai pebalap pelapis terbaik di dunia. Ia membantu Irvine meraih kemenangan dan membuat Hakkinen frustasi. Sayangnya di akhir musim Irvine tak bisa meraih gelar dunia idamannya. Mengenai hal ini, Irvine mengungkapkan keberuntungannya memiliki rekan tim seperti Michael. Ia juga menegaskan betapa banyak dukungan dari Michael Schumacher sementara ia tak memberi sebanyak yang diberikan Michael. 

"To be honest, I could never have given him the same support, he (Schumi) helped me more than any other driver could have done."

Michael Schumacher hingga saat ini dianggap masih merupakan pebalap F1 tersukses. Rekor juara dunianya yang mencapai tujuh kali masih belum dilampaui siapapun. Sepanjang karir balapnya di F1 ia telah meraih 91 kemenangan, menjalani 303 balapan dengan 155 kali berdiri di atas podium. Podium terakhirnya adalah di GP Eropa tahun lalu.

Michael telah banyak menjalani balapan paling sulit dan keras dan kebanyakan di antaranya berhasil diatasinya. Dan kali ini Michael tengah melalui lintasan paling sulit dalam hidupnya dan kuharap Michael berhasil mengatasinya. Seperti ketika tengah menyaksikannya berlaga di atas sirkuit, aku selalu berdoa ia bisa mengatasi semuanya dan memenangi balapan, begitu pula kali ini. I crossed my finger, pray for him and hope he will get through this and win the battle. Please, Michael, do not ever give up! Keep fighting and get the victory like you always to do!

Kamis, 05 Desember 2013

Resensi Novel : Burung-Burung Rantau - Y.B. Mangunwijaya

Letnan Jenderal Wiranto adalah seorang purnawirawan berhati luhur sederhana, lahir dari keluarga sederhana yang awalnya berniat menjadi guru SD tapi perang membuat jalan hidupnya berbeda, ia malah menjadi tentara dan karirnya meroket dalam dunia ketentaraan, ia turut andil dalam membasmi pemberontakan saat republik muda ini belum lama berdiri. Karir pesat yang diraihnya, Letjen Wiranto selalu mengatakan bahwa sebenarnyalah ia hanya orang udik yang didorong ke atas hingga ia menduduki berbagai jabatan bergengsi, di antaranya sempat menjadi duta besar di London, Inggris, dan terakhir menjadi Komisaris Bank Pusat Negara. Sang Letjen mantan duta besar dan Komisaris Bank Pusat Negara ini memiliki seorang istri yang menurut putri bungsunya adalah wanita yang cantik tapi sayang-tidak-peka-humor, Serafin Yuniati, peranakan Jawa-Kawanua, Manado. Mereka berdua merupakan manusia konvensional, generasi kemerdekaan yang hidupnya sarat perjuangan dan revolusi dengan lima orang anak pascakemerdekaan yang kesemuanya saling bertentangan satu sama lain, menjelajah dunia dengan cara mereka masing-masing. Kelimanya merupakan burung-burung rantau yang tak lagi merasa terikat sebagai orang Indonesia, walau tak pernah menampik, dan bukannya tidak nasionalis, dalam tubuh mereka mengalir darah Indonesia dalam hal ini Jawa-Manado, namun mereka adalah manusia-manusia Pascaindonesia.

Putri pertama pasangan Letjen Wiranto dan Yuniati adalah Anggraini Primaningsih atau lebih akrab disapa Anggi, seorang wanita karir, pengusaha sukses yang serba mandiri, fleksibel dan lihai dalam membuat celah peluang demi kepentingannya pribadi, membuat bingung orangtuanya, tak tahu darimana bakat bisnisnya itu menurun. 

Anak kedua mereka sekaligus putra sulung adalah Wibowo Laksono atau Bowo, doktor fisika-nuklir, anak kesayangan Yuniati yang lebih suka menetap di Jenewa, Swiss, bekerja di laboratorium internasional CERN dan menikah dengan seorang wanita Yunani, Agatha Anaxopoulos.

Letkol Candra Sucipto, anak ketiga pasangan Wiranto-Yuniati adalah pilot pesawat tempur. Menurut Neti, adiknya, Candra jiwanya memang batu kasar seperti Bima Werkudara, tetapi pada dasarnya hatinya intan. Di awal-awal kisah Candra memang terlihat kasar dan jiwanya yang seorang pilot pesawat tempur nyata tergambar dengan semangat meledak-ledak ingin menghancurkan segala macam yang dibenci, seperti ketika adik bungsunya, Edi meninggal karena jerat narkoba. Saat mendapat kesempatan bergabung dalam sebuah aksi penyergapan ke jantung sindikat narkoba di Bogota, bersama pasukan anti narkoba Amerika, dalam percakapannya dengan ayahnya, Candra mengungkapkan gejolak emosinya, darahnya terasa mendidih, ungkapnya, saat teringat nasib malang Edi, adiknya yang meninggal akibat kekejaman para gembong-gembong narkoba itu yang tega menjerat hidup anak-anak muda labil macam Edi, adik bungsunya itu. 

Meski terkesan keras dan serba suka sembarang hantam, tapi Candra juga terlihat merupakan kakak yang bijak dan sangat menyayangi adik perempuannya, Marineti Dianwidhi, yang memiliki nama panggilan Neti. Setelah kematian Edi, praktis Neti menjadi anak bungsu pengganti Edi yang malang itu. Sebenarnya pula Neti yang paling terluka akibat kematian Edi, adik bungsunya. Terlebih mereka berdua sangat dekat sejak kecil. Dan sejak kecil pula, Edi sudah terlihat pribadinya paling lembut dan halus dibanding kakak-kakaknya. Neti bisa dibilang sudah bagai orangtua bagi Edi mengingat ayah dan ibu mereka yang sangat sibuk. Bahkan Neti seorang yang hadir di saat terakhir Edi menghembuskan nafas terakhirnya. Di atas pangkuan Neti, kakaknya seorang yang paling memahaminya, Edi malang itu menemui ajalnya.

Sebuah kesalahan fatal Wiranto adalah sebagai ayah ia kurang memahami kelembutan jiwa dan hati putra bungsunya yang malang itu kala di suatu hari Edi yang gemar menggambar membuat sebuah lukisan wajah Karl Marx, tokoh pencetus paham komunisme membuat Wiranto, ayahnya berang bukan main dan merobek-robek gambar coretan tangan putra bungsunya yang begitu terluka atas perbuatan ayahnya. 

Sebagai panglima perang, Wiranto begitu hebat gagah membasmi gerakan-gerakan pemberontakan di pedalaman nusantara yang menggerogoti perjalanan awal republik muda ini, tapi justru terhadap anak-anaknya sendiri Wiranto memang tak berdaya sama sekali. Tanpa disadarinya, saat merobek-robek lukisan wajah Karl Marx karya anak bungsunya itu, ia telah pula merobek-robek hati putra bungsunya yang hatinya kelewat lembut dan halus itu, hal yang baru terakhir disadarinya, tapi sayangnya terlambat, anaknya yang berjiwa labil itu mencetuskan pemberontakannya dalam jeratan narkoba yang memberinya dunia ilusi semu berujung pada kematiannya. Duka dan sesal yang harus ditanggung seluruh anggota keluarga Wiranto. 

Meski senantiasa dibayangi kenangan sendu akan Edi, tapi hidup menawarkan pula segala macam keindahan dalam kesedihan. Marineti Dianwidhi, anak keempat sekaligus putri bungsu keluarga Letjen Wiranto, sarjana antropolog dan tengah melanjutkan ke jenjang S2, yang merupakan tokoh sentral dari novel ini melalui sikap cerianya yang suka menggoda ibunya yang cantik-tapi-sayang-tidak-peka-humor itu. 

Neti, anak manja tapi juga sangat dewasa bertanggung jawab, memilih menjadi sosiawati, atas inisiatif pribadi, seorang diri menjadi guru anak-anak keluarga kumuh di bawah jembatan, walau ia akui aksi sosialnya itu tak sepenuhnya murni melainkan didasari rasa sakit hatinya akibat kematian adiknya yang malang tapi toh pada akhirnya Neti benar-benar menghayati sepenuhnya tindakan mulianya ini.

Kegiatan sosialnya ini pula yang membawa Neti berjumpa dengan Gandhi Krishnahatma, seorang pemuda asal Punjab, India dari kalangan Brahmana yang selalu terikat pada karma, dalam sebuah konferensi untuk pekerja sosial antar negara Asia di India. Nama Gandhi itu memang diberikan orangtuanya karena ia dilahirkan di hari ulangtahun Mahatma Gandhi dan tentunya dengan harapan ia memiliki kebijakan hati seperti Mahatma Gandhi. Nyatanya pula, meski sebagai seorang pemuda dari kalangan atas dengan kekayaan melimpah, tapi Krish, panggilan Neti untuk sahabatnya dari India ini, memiliki hati yang amat mulia seperti Mahatma Gandhi, tokoh perjuangan perdamaian India yang justru menemui ajalnya di tangan seorang penganut Hindu fanatik. Kelembutan hati pemuda Punjab inilah yang membuat Neti jatuh hati. Mereka kembali bertemu saat pesta pernikahan Bowo - Agatha di Yunani. Dalam perjalanan wisata ke beberapa tempat wisata terkenal di Yunani bersama Krish dan Candra, usai pernikahan Bowo-Agatha, perasaan Neti terhadap Gandhi Krishnahatma, ilmuwan mikro biologi yang tengah mempersiapkan diri untuk jadi doktor bioteknologi di Heidelberg ini pun makin dalam. Tapi kendalanya adalah suasana muram India yang senantiasa terikat aturan kasta dan karma, membuat perasaan Neti gamang. 

Di samping itu, walau tak memperlihatkan penolakan, Yuniati, ibunda Neti yang cantik tapi tidak peka humor itu, menghadapi dilema, di satu sisi, ia gembira karena ternyata toh putri bungsunya yang selalu berikrar tak ingin menikah ini, akhirnya bisa juga jatuh cinta, tapi di sisi lain, latar belakang pria yang telah mengharu-biru perasaan putrinya terlalu rumit. Krish, memang merupakan putra dari pengusaha media Punjab yang kaya raya, tapi Krish adalah seorang duda beranak satu, belum lagi India, negeri asalnya yang diikat oleh pembagian nasib bernama kasta dan karma, membuat hati masygul. Namun pada akhirnya semua kegelisahan dan kegamangan itu terjawab. Krish yang senantiasa terikat oleh karma, nyatanya tak bisa menolak desakan orangtuanya untuk menikahi seorang kerabatnya yang telah dijodohkannya dan disebut sebagai karmanya. Meski pedih, tapi toh Neti adalah Neti, gadis manja, putri bungsu Letjen Wiranto, hidupnya terus berjalan, dan ia justru bisa menemukan kekuatannya di tengah kawasan kumuh di kolong jembatan bersama anak-anak malang secara ekonomi tapi tak mampu memudarkan semangat, keceriaan masa kanak-kanak, dan wanita-wanita sederhana yang walau sikap dan perilakunya tak seelegan, seanggun ibu-ibu pejabat, tapi toh hati mereka sebenarnya murni indah. Mereka yang sebenarnya adalah juga burung-burung rantau kehidupan.

Catatan: Sebagai sebuah novel filsafat, tentu saja pembaca akan dibawa pada kedalaman kata yang mungkin akan membuat kening berkerut dalam, meski begitu, jalan ceritanya cukup ringan mengalir membawa para pembacanya hanyut pada kedalaman berpikir para tokohnya. Perpaduan berpikir antara kaum teknokrat yang digambarkan melalui tokoh Candra, si pilot pesawat tempur itu dan Bowo, abangnya yang profesor fisika nuklir dan astro-fisika dengan pandangan humanis Neti, si antropolog sekaligus sosiawati, juga tak kalah mengesankan, yang disampaikan dengan bahasa yang ringan dan mudah dipahami sehingga mampu menggugah hati dan pikiran kita. Belum lagi pemilihan kata-kata khas Y.B. Mangunwijaya yang lugas membuat novel ini makin menarik seperti dalam halaman 55 dalam kenangan Neti akan percakapannya dengan almarhum adiknya, Edi:

"Kaukira manusia berbakat untuk melupakan masa lampau? Aku tidak mudah, mungkin orang lain bisa?" 

Percakapan antara Neti dengan ayahnya di makam Edi, membahas soal korban dan pelaku, dalam halaman 56:

"Anehnya, dalam manusia tokoh pelaku dan sosok korban sulit dibedakan satu dari yang lain. Dalam hal ini memang benar kau: kita bukan hanya boneka wayang yang digerak-gerakkan oleh Ki Dalang, tetapi pelaku otonom seratus persen tidak juga."

Simak juga kalimat menarik dalam halaman 87 mengenai pemikiran Neti yang membuat abangnya, Candra, si pilot pesawat tempur spontan mengingatkan Neti bahwa pemikirannya itu berbahaya dan salah-salah bisa menyebabkan perang saudara:

'Pernah dalam suatu anggar pendapat dengan Mas Candra sang pilot ulung itu, abangnya marah karena Neti mengungkapkan pengamatannya, bahwa rupa-rupanya ada keharusan faktual, bahkan mungkin prinsipial, pesawat hanya dapat lepas bila ada landasan, landasan yang stabil dari beton bertulang atau batu beraspal. Teori-teori yang bertebaran memang mengingkari, tetapi kenyataan menunjukkan betapa kemajuan masyarakat kalangan atas hanya dapat lepas meninggi ke udara apabila ada lempeng-lempeng masyarakat lain yang terpaksa mau diinjak roda-roda pesawat.'

"Sejarah bukan monopoli satu-dua bangsa."

"Kematian diganti kehidupan yang tumbuh dalam benih dunia lain, seperti manusia pun demikian"

"Berpolitik adalah merealisasikan diri selaku manusia yang bertanggung jawab kepada diri sendiri, keluarga maupun masyarakat."

Pemaparan mengenai manusia yang pada dasarnya tak memiliki apa-apa selain akal budinya, seperti yang disampaikan dalam halaman 238 pun tak kalah menarik menggugah daya pikir:

"... betapa manusia adalah satu-satunya makhluk dunia yang serba kurang. Menghadapi burung dia tidak bisa terbang. Menghadapi ikan dia tidak bisa menang berenang dalam air. Berpacu dengan kuda dia kalah. Melawan badak dia lemah; kemampuan tubuh untuk dapat menembus tanah nyaris nol bila disuruh melawan tikus atau ular. Tetapi manusia punya otak, dan inilah yang dimanfaatkan sampai sel dan sarafnya setuntas mungkin,...."

Selasa, 22 Oktober 2013

Review Novel: Fourth Protocol - Frederick Forsyth

Novel ini berkisah tentang intrik dalam dunia spionase- spesialisasi Frederick Forsyth- yang berlatar belakang tahun 1980-an, era perang dingin yang ditandai dengan perseteruan dua kekuatan negara besar saat itu, Amerika yang merupakan pemimpin kelompok Barat dengan Inggris sebagai sekutunya dan Soviet yang adalah kekuatan dari blok Komunis. Mengambil momen pemilihan umum di Inggris yang dimajukan lebih awal dari jadwal , Soviet berusaha menjatuhkan blok barat dengan menyusup ke Inggris untuk melucuti kekuatan seteru utamanya, Amerika Serikat.

Sebuah rencana gila dan mematikan disusun pihak Soviet. Rencana ini tentu saja mengandung resiko luar biasa dan akan berdampak negatif bagi Soviet bila sampai gagal, namun bila berhasil, maka bukan saja Soviet akan menghancurkan Amerika Serikat, seteru utamanya itu, lebih dari itu Soviet dan komunisme pun akan menjadi penguasa tunggal dunia. Namun, bila menjalankan rencana ini maka berarti Soviet akan melanggar Protokol Keempat (Fourth Protocol) yang ditandatangani oleh tiga negara yaitu, Uni Soviet, Inggris, dan Amerika Serikat, di mana dalam kesepakatan tersebut dinyatakan bahwa ketiga negara tersebut tidak akan mengalihkan teknologi atau bahan-bahan yang memungkinkan pengembangan senjata nuklir kepada negara mana pun yang pada saat itu belum memiliki teknologi seperti itu atau bahan-bahan untuk itu; karenanya bila sampai rencana ini terungkap maka akibatnya akan sangat fatal bagi Soviet, tapi dalam rencana tersebut Soviet berusaha meminimalisir perannya dan mengatur sedemikian rupa bahwa yang melakukan pelanggaran itu adalah Amerika Serikat dan bukannya Uni Soviet. Rencana itu dinamai Operasi Aurora.

Untuk mewujudkan rencana tersebut, pemimpin Uni Soviet, sang Sekretaris Jenderal membutuhkan masukan langsung dari orang yang paling mengerti seluk beluk pemilu Inggris dan segala macam problematik dalam partai-partai utama peserta pemilu Inggris. Dan tak ada orang yang tepat yang paling memahaminya selain daripada orang Inggris itu sendiri, dan orang pertama yang memunculkan ide yang mendasari rencana Aurora itu. Orang itu adalah Kim Philby, pengkhianat Inggris yang membelot ke Moskow, Soviet.


Kim Philby adalah salah satu dari Five Cambridge, lima agen top Inggris yang bertahun-tahun lamanya ternyata menjadi agen rahasia Soviet. Kelimanya merupakan alumni Cambridge dan direkrut Soviet saat tengah menuntut ilmu di universitas terkenal tersebut, karena itulah mereka disebut Five Cambridge. Yang paling pertama terbongkar kedoknya adalah Guy Burgess dan Donald Maclean yang dengan bantuan rekan mereka, Anthony Blunt, melarikan diri ke Moskow. Anthony Blunt sendiri juga termasuk dalam salah satu kelompok pengkhianat Five Cambridge ini. Sebenarnya Blunt masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Ratu Elizabeth II, setelah pengkhianatannya terungkap maka gelar kehormatan Blunt pun dilucuti. Meski begitu ia tetap memilih tinggal di Inggris dan tak melarikan diri ke Moskow seperti yang dilakukan rekan-rekannya.

Di antara Five Cambridge, Kim Philby yang paling banyak mendatangkan keuntungan bagi Soviet, mengingat Philby sempat menjadi petinggi di Kedutaan Besar Inggris di Amerika Serikat. Philby pula yang membocorkan pada Burgess dan Maclean bahwa kedok mereka sudah terbongkar sehingga mereka sempat melarikan diri ke Moskow. Saat kedok Philby terbongkar, mengikuti jejak-jejak rekannya, ia juga melarikan diri ke Moskow bahkan menikah dengan wanita Soviet.

Segala persiapan dilakukan untuk mewujudkan Operasi Aurora. Tapi aksi ini berlangsung sangat rahasia, mengingat dampak yang akan diderita Soviet akan sangat besar bila ketahuan, sang Sekretaris Jenderal, pemimpin tertinggi Uni Soviet, bahkan tak melibatkan sama sekali badan-badan intelijennya sendiri, KGB, mengingat di dalam tubuh agen rahasia itu pastinya telah pula disusupi pihak lawan. Kecurigaan yang sangat beralasan.

Agen terbaik dari badan utama intelijen Soviet direkrut dan mendapat pengarahan langsung dari Kim Philby yang menjadi legenda dan pahlawan bagi tunas-tunas muda agen intelijen Soviet.

Namun aksi rahasia Sekretaris Jenderal yang serba rahasia dan merebut semua agen terbaik, dokumen-dokumen terbaik untuk penyusupan yang serba rahasia ini menimbulkan kemarahan Kepala Direktorat Ilegal, Mayjen Pavel Petrovitch Borisov yang awalnya mengira, rekannya sekaligus sahabatnya, Letnan Jenderal Yevgeni Sergeivitch Karpov, pucuk pimpinan Direktorat Utama Satu yang melakukan operasi rahasia tanpa setahunya. Tapi ternyata Karpov pun tak tahu apa-apa. Tapi dalam hatinya ia tahu siapa yang melakukannya. Sang Sekretaris Jenderal, dan instingnya mengatakan apa yang dilakukan Sekretaris Jenderal pastinya merupakan operasi yang luar biasa mengerikan dan kemungkinan besar akan membahayakan stabilitas Soviet bila sampai bocor sehingga departemennya tidak dilibatkan sama sekali. Meski begitu, sebagai pemimpin departemen yang paling berpengaruh dalam pemerintahan Uni Soviet, ia merasa tak seharusnya sang Sekretaris Jenderal menyembunyikan hal ini darinya. Ia pun bertekad mencari tahu operasi rahasia apa yang tengah dilakukan pemimpin tertinggi negaranya tersebut.

Sementara Soviet tengah mematangkan rencana Operasi Aurora, di badan intelijen Inggris tengah terjadi kekisruhan saat diketahui terjadi kebocoran di salah satu departemen penting dalam pemerintahan Inggris. Kebocoran ini berhasil diketahui berkat aksi sebuah pencurian berlian di suatu apartemen saat malam pergantian tahun. Awalnya si pencuri hanya berniat mencuri perhiasan berlian klasik milik sang nyonya rumah di apartemen Fontenoy House, Untuk membawa berlian-berlian curiannya, si pencuri yang bernama Jim Rawlings memasukkannya ke dalam tas kerja suami si nyonya rumah yang rupanya merupakan petinggi dalam Kementerian Pertahanan Inggris. Rupanya pula dalam tas tersebut terdapat dokumen rahasia dari kementerian tempat si tuan rumah bekerja. Ternyata si tuan rumah tersebut diam-diam menjadi agen mata-mata negara asing yang kerap membawa keluar dokumen rahasia dari kementeriannya untuk diberikan pada agen penghubungnya. Saat mengetahui hal ini, si pencuri mengirimkan dokumen tersebut ke departemen yang berada di bawah otoritas MI5. Dinas intelijen Inggris dibagi menjadi dua, MI5 yang menangani stabilitas dalam negeri sementara MI6 bertanggung jawab akan kegiatan intelijen Inggris di luar negeri.. Kepala departemen yang menerima kiriman dokumen dari Jim Rawlings, si pencuri, memberikannya pada John Preston, agen lapangan MI5 yang ulet dan gigih saat menangani kasus, tapi memiliki masalah dengan Brian Harcourt-Smith, wakil pimpinan dinas rahasia tempatnya bekerja. Harcourt-Smith yang bukan merupakan orang lapangan kerap tak memahami insting dalam mengendus suatu kasus tak seperti atasannya, Sir Bernard Hemmings, karenanya ia kerap tak menghiraukan laporan yang dibuat Preston yang didasarkan pada insting dan asumsinya sebagai orang lapangan. Laporan Preston selalu dilemparkan oleh Harcourt-Smith ke ruang arsip dengan label NFA-No Further Action- atau tak ada tindakan lebih lanjut alias dipeties-kan. Bukan itu saja. Harcort-Smith bahkan beberapa kali memutasi Preston.

Namun dalam aksinya, Preston kerap mendapat banyak bantuan dari Sir Nigel Irvine, pimpinan MI5, yang seperti Preston dan Sir Bernard Hemmings juga merupakan orang lapangan. Ia sangat percaya akan intuisi Preston dan menyukai cara kerja Preston yang gigih dan ulet hingga akhirnya bisa menemukan si pengkhianat, pemilik tas kerja berisi dokumen rahasia tersebut.

Atas keberhasilan Preston ini, bukannya mendapat penghargaan, sebaliknya, Harcourt-Smith yang melihat Preston bisa mengancam posisinya, kembali memutasi Preston ke bagian lain yang mengawasi segala arus keluar masuk dari dan ke Inggris. Jadi pekerjaan barunya ini membawahi bandara, stasiun, pelabuhan, dan sebagainya, kegiatan yang dianggap Preston membosankan dan tak ada ubahnya seperti polisi lalu lintas.

Tapi ternyata, di departemen inilah Preston menjadi titik sentral yang akan menyelamatkan Inggris dan dunia barat dari rencana gila Sekretaris Jenderal Soviet.

Sementara itu agen paling top telah dipilih untuk disusupkan ke Inggris. Agen ini yang akan menerima berbagai macam kiriman dari berbagai kurir, dan memberikan laporan ke Moskow saat semua barang yang harus dikirimkan sudah tiba semua, sehingga operasi bisa segera dijalankan.

Satu persatu kurir Soviet yang diatur sedemikian rupa berdatangan ke Inggris untuk memberikan alat-alat yang nantinya akan dirakit setelah seluruh kiriman tersebut telah tiba semua. Meski begitu para kurir tersebut tak ada yang tahu barang apa yang sebenarnya mereka bawa. Hanya si perakit yang nantinya akan datang ke Inggris saat semua barang sudah lengkap, yang tahu bahwa barang-barang tersebut akan menjadi bom nuklir yang rencananya akan diledakkan di dekat pangkalan militer Amerika, menjelang pemilu Inggris, untuk menciptakan kekacauan, dan saat ledakan nuklir itu terjadi, semuanya akan mengarah ke Amerika, seolah pelakunya adalah Amerika Serikat sehingga akan ada gelombang anti Amerika besar-besaran, dan inti dari semuanya, kemenangan Partai Buruh di Inggris, yang juga akan diatur sedemikian rupa sehingga saat partai oposisi ini meraih kemenangan dalam pemilu, ketua Partai Buruh yang masih memimpin akan disingkirkan dan kemudian menggantikannya dengan seorang Marxis-Leninisme fanatik yang pro Soviet.

Namun salah satu kurir yang didatangkan secara ilegal mengalami masalah sehingga tak berhasil menyampaikan barang bawaannya ke agen ilegal yang telah berada di Inggris. Si kurir ini membawa sebuah kotak tembakau dalam tas kanvas yang sebenarnya takkan mendatangkan kecurigaan siapapun, walaupun bila ada yang memeriksa kotak tembakau tersebut hanya didapati lempengan logam yang tidak akan dipahami oleh siapapun yang mungkin akan memeriksa kotak tembakau tersebut. Namun saat si kurir yang sedianya tengah dalam perjalanan ke tempat pertemuan yang dijanjikan dihadang sekelompok preman. Ia pun secara refleks melindungi tas kanvas yang dipeluknya erat-erat di perutnya, dan aksinya itulah yang menimbulkan kecurigaan polisi yang melihat aksi pengeroyokan tersebut.

Berita pengeroyokan ini lalu disampaikan ke Preston yang juga menerima laporan -tidak secara tertulis- dari si polisi yang merasa janggal dengan sikap si kurir yang lalu memilih bunuh diri karena berpikir aksinya sudah ketahuan. Secara diam-diam Preston mengambil lempengan logam dalam kotak tembakau tersebut dan mengirimkannya pada ahli fisika untuk diteliti. Dan ternyata lempengan logam itu merupakan salah satu bahan dasar untuk membuat bom atom. Dari sini Preston mulai curiga ada sebuah aksi rahasia dari pihak asing yang akan mengancam keamanan Inggris. Namun masalahnya, Preston tak memiliki petunjuk lainnya selain lempengan logam tersebut.

Sebagai seorang agen MI5 sudah merupakan kewajibannya untuk membuat laporan mengenai hal ini, tapi berhubung Preston tak memiliki bukti lain yang lebih kuat selain perkiraan dan asumsi yang berdasar pada instingnya sebagai orang lapangan, maka lagi-lagi laporan Preston ini tak ditanggapi serius oleh Brian Harcourt-Smith.

Tapi untungnya ada Sir Nigel Irvine, bos MI6 yang sudah kadung menyukai cara kerja Preston ini sehingga diam-diam ia memperhatikan kegiatannya. Karena itu pula, lewat salah satu mata-matanya di MI5, ia tahu Preston tengah mendapat kasus besar yang sayangnya tak mendapat tanggapan dari atasannya.

Sir Nigel Irvine pun membantu Preston untuk mengungkap lebih jauh dari sekadar lempengan logam yang dilindungi setengah mati oleh si kurir malang itu. Tapi segala upaya mereka menemui jalan buntu. Mereka tak pernah bisa menemukan kurir-kurir lain yang disusupkan Soviet ke Inggris hingga akhirnya seluruh bahan yang harus dikirimkan sudah terkirim semua termasuk lempeng logam yang gagal dikirim itu pun sudah dikirim gantinya, sehingga semuanya tinggal dirakit dan operasi Aurora pun siap dijalankan.

Dalam keputusasaan yang semua penyelidikannya menemui jalan buntu ini, sementara musuh utamanya adalah waktu, Sir Nigel Irvine dengan koneksi yang dimilikinya pun turut berusaha mencari titik terang dari misteri ini. Bahkan Sir Nigel Irvine yang diam-diam memiliki mata-mata dalam tubuh dinas intelijen Soviet, KGB, mencoba mencari tahu dari agen gandanya itu. Tapi semuanya nyaris mustahil hingga suatu malam titik terang yang dinanti itu muncul secara tiba-tiba yang kemudian membawanya pada agen ilegal, penyusup yang akan melaksanakan Operasi Aurora.

Catatan: Novel Fourth Protocol ini bisa dibilang merupakan salah satu novel terbaik Frederick Forsyth. Kisah-kisah spionase yang dikemas secara menarik dengan jalinan plot yang seru dan menegangkan membuat pembacanya terus berpikir bersama sang tokoh utama, John Preston yang gigih dan ulet dengan ending yang tak terduga khas Frederick Forsyth. Poin tambahan novel ini meramu secara menarik tokoh-tokoh fiktif yang dipadukan dengan tokoh-tokoh real atau nyata. Seperti Kim Philby, yang perannya dalam Protokol Keempat ini sangat besar, namun sebenarnya sejak membelot ke Soviet, ia tak pernah mendapatkan peran besar seperti itu, sebaliknya ia hidup dalam pengawasan ketat Moskow. Dan meski dalam kehidupan nyata Philby benar menikah dengan wanita Soviet, tapi wanita Soviet yang menjadi istri Philby dalam novel ini adalah tokoh fiktif. Yang juga menarik adalah bagaimana Forsyth mengisahkan sedikit tentang dua pembelot lainnya, Burgess dan MacLean. Dikisahkan MacLean akhirnya mati dalam kekecewaannya sementara pembelot kelima dari Five Cambridge, yang sebenarnya saat itu masih belum diketahui, jadi Forsyth menciptakan tokoh fiktif dari pembelot kelima itu sebagai yang paling berhasil di antara kelima pemebelot Five Cambridge. Digambarkan si pembelot kelima ini bisa menerima keadaan dibanding rekan-rekan lainnya, ia bahkan bisa berbaur dan meleburkan diri secara total ke dalam masyarakat Soviet. Padahal yang sebenarnya, pembelot kelima dari Five Cambridge, seperti Blunt, memilih tetap tinggal di Inggris dan yang berhasil meleburkan diri secara total ke dalam kehidupan masyarakat Soviet adalah Donald MacLean yang akhirnya meninggal di Moskow akibat sakit kanker. Secara keseluruhan, untuk penggemar kisah-kisah spionase, Fourth Protokol adalah salah satu bacaan wajib.

Kamis, 15 Agustus 2013

Review Novel: The Devil's Alternative - Frederick Forsyth

Untuk: Selvia Lusman, yang novelnya kuculik sebelum ia sendiri sempat membacanya

Posisi Maxim Rudin, Presiden Uni Soviet sekaligus Sekretaris Jenderal Partai Komunis Soviet tengah berada di ujung tanduk. Pasalnya kegagalan panen gandum akibat masalah teknis dari proses penciptaan benihnya akan membawa Soviet dan negara-negara persemakmurannya berada di ambang kelaparan besar. Yefrem Vishnayev, ahli teori partai tengah mengincar posisi Rudin telah berhasil mendekati beberapa pihak dan bersiap menjatuhkan Rudin atas krisis panen ini. Masalah yang dihadapi Rudin sesungguhnya bukan hanya soal krisis gandum yang akan membawa Soviet menuju bencana kelaparan. Dokter kepercayaannya telah memberitahunya bahwa ia mengidap penyakit parah. Leukimia yang mempertipis jangka waktu hidupnya di dunia. Karena kondisi kesehatannya inilah, Rudin sebenarnya telah mempersiapkan pensiunnya dan berencana menyerahkan tampuk kekuasaannya pada orang kepercayaannya, Vassili Petrov. Tapi bila lawannya mengetahui kondisi kesehatannya ditambah krisis gandum yang mengancam bencana kelaparan nasional, bisa jadi masa pensiunnya takkan terjadi sesuai harapannya. Bisa jadi ia akan mengalami nasib terhina seperti pendahulunya, Malenkov yang jatuh dalam hina, begitu pun yang terjadi dengan Khrushchev, sementara Brezhnev membuat semuanya menereka-nerka hingga menit-menit terakhir.

Kondisi kesehatan Rudin ini hanya diketahui oleh dua orang kepercayaannya, Yuri Ivanenko, orang yang dipercaya Rudin untuk mengisi posisi pimpinan puncak KGB, walau Ivanenko yang kebarat-baratan menimbulkan kecurigaan di kalangan partai komunis yang sangat anti kapitalisme dan membuatnya memiliki banyak musuh yang ingin menghancurkannya. Posisinya sebagai Kepala KGB yang tugasnya memata-matai tak hanya warga Soviet tapi juga para petingginya, membuat Ivanenko sudah tahu kondisi kesehatan Rudin. Seorang lagi adalah Vassili Petrov, Kepala Bagian Organisasi Partai dari Sekretariat Jenderal, yang dipercaya Rudin sebagai penggantinya, diberitahu langsung oleh Rudin mengenai kondisi kesehatannya. Selain dua orang tersebut, Rudin masih memiliki seorang lagi pendukungnya dalam politbiro melawan kelompok Vishnayev yaitu Dimitri Rykov, Menteri Luar Negeri veteran yang memihak Rudin karena tak bisa ke mana-mana lagi.

Sementara Vishnayev, sang ahli teori partai ini memiliki dukungan penuh dari Marsekal Nikolai Kerensky, Menteri Pertahananan sekaligus Kepala Pasukan Merah. Sebenarnya Vishnayev tak memiliki pendukung yang sangat loyal selain Kerensky, tak seperti Rudin yang bisa sepenuhnya yakin pada Ivanenko dan Petrov, tapi Vishnayev berhasil membujuk beberapa anggota politbiro lainnya untuk mendukungnya, di antaranya adalah Menteri Pertanian, Komarov yang gara-gara kealpaannya, membuat panen gandum Soviet terancam gagal.

Untuk mengantisipasi bencana kelaparan, hanya ada satu pilihan, meminta bantuan dari musuh besar Soviet, Amerika Serikat. Opsi inilah yang terpaksa ditawarkan Rudin dalam rapat politbiro yang setengah dari anggotanya telah siap sedia menjatuhkannya. Membeli gandum dari Amerika Serikat, berarti akan ada konsensus-konsensus yang pasti akan dipaksakan pihak Amerika Serikat pada pemerintah Uni Soviet. Dan salah satu konsensi yang pasti akan dipaksakan oleh pihak Amerika Serikat adalah pembatasan persenjataan Soviet. Sebuah langkah mundur bagi Soviet, tapi bencana kelaparan yang mengancam di depan mata jauh lebih mengerikan dan mungkin akan berakibat pada kehancuran Soviet. Vishnayev tak menyukai usulan Rudin yang berarti akan mempermalukan Soviet. Ia dan Kerensky pun menawarkan opsi lain. Melakukan perang besar-besaran di Eropa Barat yang bila berhasil ditaklukkan Soviet, akan dapat membantu Soviet terhindar dari bencana kelaparan besar-besaran. Tapi kemungkinan keberhasilan dari perang ini tak bisa dipastikan. Bisa jadi Amerika Serikat tidak akan rela dan tinggal diam membiarkan Soviet yang pada akhirnya justru akan membawa kehancuran bagi Soviet sendiri. Suara pun terbelah. Vishnayev mengusulkan pemungutan suara. Hasilnya sangat ketat. Kubu Rudin mengumpulkan tujuh suara, unggul satu suara dari kubu Vishnayev.  Rudin baru saja lolos dari lubang jarum. Tapi ia sadar, masa pensiun nyaman yang didambakannya harus diupayakan sekuat tenaganya.

Sementara itu, Amerika Serikat sendiri lewat satelit Condor miliknya sebenarnya telah mengetahui bahwa ada yang tak beres dengan gandum di ladang-ladang Uni Soviet. Tapi memenuhi permintaan pembelian gandum dari Uni Soviet bukanlah hal yang mudah untuk diputuskan. Presiden Amerika Serikat, William Matthews pun menggelar rapat internal dengan melibatkan penasihat keamanannya, Stanislaw Poklewski, Robert Benson dari CIA, dan Myron Fletcher, kepala analis urusan gandum Soviet dari Kementerian Pertanian. Poklewski yang merupakan keturunan Yahudi dan telah lama memendam rasa bencinya pada Soviet yang berlaku tak ramah pada keturunan Yahudi-Soviet, lebih suka bila Amerika tak menjual gandumnya secara mudah pada Soviet. Ia mengusulkan untuk melakukan "pemerasan" pada Soviet, terlebih melihat data yang ada, panen gandum Soviet benar-benar mengkhawatirkan, ia meyakinkan Presiden Matthews bahwa persediaan gandum Amerika yang tengah melimpah bisa menjadi senjata ampuh untuk menekan dan melucuti Soviet habis-habisan.

Di lain kisah, Kedutaan Inggris di Moskow mengalami masalah. Salah seorang Sekretaris Bagian Perdagangan Kedutaaan Besar Inggris di Moskow, Harold Lessing, yang sebenarnya merupakan agen intelijen Inggris ambruk akibat pendarahan lambung. Sir Nigel Irvine, Direktur Jenderal SIS, badan intelijen Inggris di London langsung dikabari. Posisi Lessing sangat penting karenanya harus segera dicari penggantinya. Seorang nama disodorkan. Adam Munro.

Ada satu peraturan di lembaga intelijen bagi tiap personilnya untuk terus memperbaharui data pribadi mereka. Adam Munro bukanlah pengecualian, tapi ada sebuah rahasia yang disimpannya dan tak ditulisnya dalam perkembangan data pribadinya. Di masa lalunya, Munro saat bekerja di Reuters sempat menjalin kisah asmara dengan seorang gadis Soviet di Jerman. Namun saat tembok Berlin yang memisahkan Jerman Barat dan Timur hampir jadi, kekasih Munro ini tak bisa meninggalkan keluarga dan mengkhianati negaranya. Ia pun memilih pergi meninggalkan Munro. Kisah cinta sedihnya inilah yang disimpan Munro bagi dirinya sendiri dan tak pernah diungkapkan pada siapa pun.

Suatu hari di musim panas, Munro benar-benar tak menyangka ketika ia bertemu kembali dengan Valentina, kekasihnya yang meninggalkannya di Berlin dulu itu. Valentina sudah menikah tapi suaminya telah meninggal dunia. Ia memiliki seorang anak bernama Sasha. Berkat bantuan dari paman mendiang suaminya, Valentina bisa bekerja sebagai sekretaris di politbiro. Dan berkat bantuan paman mendiang suaminya ini pula, Valentina bisa menjalani kehidupan yang lebih baik di Soviet. Tapi Valentina merasa tidak bahagia. Ia mengungkapkan pada Munro mengenai apa yang didengarnya dalam rapat politbiro. Tentang rencana paman mendiang suaminya yang ternyata adalah Marsekal Nikolai Kerensky, sang Kepala Pasukan Merah sekaligus Menteri Pertahanan, untuk melakukan perang besar-besaran menyerang Eropa. Secara rahasia, Valentina memberikan transkrip rapat politbiro pada Munro untuk disampaikan pada pemerintahnya dan berharap pihak Barat bisa menggagalkan rencana paman mendiang suaminya ini. Pertemuan-pertemuan rahasia antara Munro dan Valentina pun kerap terjadi. Valentina secara rutin memberikan transkrip rapat politbiro pada Munro. Dalam salah satu transkrip itu juga mencakup masalah krisis panen gandum yang akan membawa bencana kelaparan bagi Soviet. Munro memberi nama sandi Bulbul untuk Valentina.

Sudah bukan rahasia bila SIS dan CIA kerap saling bertukar informasi. Berita yang didapat Munro dari Bulbul merupakan harta tak ternilai bagi kedua badan intelijen ini. Presiden Matthews dan jajarannya yang semula masih ragu dan memilih akan menekan habis Rudin sebelum menyetujui permintaan pembelian gandum dari Soviet, tercengang mendengar rencana gila Kerensky yang berniat membuat Eropa kembali ke masa gelap seperti masa Hitler dulu. Dalam transkrip yang dikirimkan Bulbul itu terungkap pula konspirasi yang diatur Vishnayev dan Kerensky untuk menjatuhkan Rudin. Bila Rudin jatuh dan Vishnayev yang menggantikannya, berarti Kerensky bisa melakukan rencana gilanya ala Hitler itu. Dan itu bukan hanya akan menjadi bencana regional tapi akan berdampak global. Amerika tak bisa tinggal diam. Tak ada pilihan lain. Amerika Serikat harus membantu Rudin. Walau tetap harus ada konsensus di balik penyetujuan menjual gandumnya pada pihak Soviet, tapi Amerika Serikat memilih bersikap lunak pada Rudin demi menjaga agar posisi Rudin tak jatuh ke tangan maniak gila macam Vishnayev.

Pertemuan bilateral antara Uni Soviet dan Amerika Serikat digelar. Dipilihlah negara yang netral untuk melangsunngkan pertemuan besar ini, dan pilihan jatuh pada Irlandia. Pemerintah Irlandia pun menyatakan kesiapannya untuk menggelar pertemuan ini yang akan dilangsungkan di Dublin. Walau pembicaraan kedua pihak berlangsung alot, tapi keduanya nyaris mencapai kesepakatan yang mana kesepakatan itu akan disebut dengan nama Traktat Dublin. Di tengah pertemuan ini, terjadi hal di luar dugaan. Yuri Ivanenko, sang Kepala KGB tewas ditembak oleh dua orang Ukraina keturunan Yahudi. Bila hal ini diketahui secara luas, keutuhan Uni Soviet di ambang bencana. Ukraina yang sejak lama tak rela dengan pendudukan Soviet memang sudah seperti api dalam sekam bagi Soviet. Namun selain Ukraina, ada banyak daerah pendudukan Soviet lainnya yang sudah gerah dengan kekejaman Soviet. Polandia, Rumania, Georgia, merupakan beberapa di antaranya yang memendam hasrat memerdekakan diri dari pendudukan Soviet. Dan bila pembunuhan terhadap Kepala KGB yang sangat ditakuti ini sampai tersiar luas, bisa dipastikan akan ada huru-hara besar, dan Pasukan Merah sekalipun takkan sanggup mengatasi kondisi tersebut. Untuk itu kematian Ivanenko pun dirahasiakan. Meski begitu, Rudin tak bisa menyembunyikan hal ini dari politbiro. Kali ini posisi Rudin benar-benar di ujung tanduk. Ia sudah tak lagi memiliki kartu as menghadapi Vishnayev.

Rahasia kematian Ivanenko memang berhasil ditutupi Soviet dengan mengatakan bahwa sang Kepala KGB itu tengah dirawat di sebuah klinik karena terkena serangan jantung. Seluruh dunia yang tak tahu menerima saja berita ini. Tapi ada sekelompok patriotis Ukraina yang sangat tahu keadaan sebenarnya tak ingin tinggal diam dengan kebohongan ini. Kedua orang yang membunuh Ivanenko itu rupanya salah satu dari kelompok patriotis ini. Adapun ketua kelompok ini adalah Andrew Drake yang merupakan warga negara Inggris keturunan Ukraina. Meski lahir dan dibesarkan di Inggris, Andrew Drake yang sebelumnya bernama Andriy Drach, mewarisi kebencian akan Soviet dari ayahnya yang  merupakan pemberontak Ukraina yang sangat beruntung karena bisa lolos dan hidup tenang di Inggris. Ibunda Drach sendiri tak menyukai propaganda kebencian yang ditanamkan suaminya pada putranya ini. Setelah kematian suaminya, ibu Drach mengubah nama keluarga mereka menjadi Drake dan mengganti nama Andriy dengan Andrew.

Andrew Drake yang ternyata tak pernah bisa melupakan kebencian yang ditanamkan ayahnya pada Soviet menemukan waktu yang tepat untuk membalas dendam pada Soviet saat melihat sebuah berita tentang seorang asing yang hampir tewas setelah sekian hari terapung-apung dalam sebuah perahu layar sebelum akhirnya diselamatkan oleh awak kapal Garibaldi yang tengah beralyar di pantai timur Turki. Orang tersebut belakangan diketahui bernama Miroslav Kaminsky, seorang pemberontak Ukraina yang berhasil melarikan diri. Dari Kaminsky inilah Drake mengetahui tentang David Lazareff dan Lev Mishkin, dua orang keturunan Yahudi yang amat benci pada Soviet dan telah berkali-kali mengajukan ijin pergi dari Soviet menuju Israel tapi tak pernah disetujui Soviet karena kedua ayah mereka sempat tertangkap dalam foto tengah menghadiri acara pemberontakan terhadap pemerintahan Soviet. Sebuah skenario pun disusun. Drake mengajak pula seorang keturunan Ukraina lainnya. Azamat Krim, seorang warga negara Kanada keturunan suku Tartar yang juga sangat membenci Soviet. Kedua teman Yahudi Kaminsky, Lazareff dan Mishkin akan membunuh Ivanenko, Kepala KGB, lalu mereka secepat mungkin berusaha melarikan diri dari Soviet ke Israel, di sana mereka akan mengadakan jumpa pers dan mengungkapkan bahwa mereka telah membunuh sang Kepala KGB itu, berita ini akan menjadi pukulan telak bagi pemerintah Soviet. Untuk mendukung operasi ini dibutuhkan dana yang besar, Drake dan Krim pun merencanakan merampok sebuah bank yang nantinya dana tersebut akan digunakan mereka untuk membeli senjata bagi Lazareff dan Mishkin.

Pembunuhan terhadap Kepala KGB berhasil dilaksanakan tapi masalah muncul saat kedua pembunuhnya ini berencana melarikan diri. Keduanya sudah berhasil membajak Aeroflot bermesin ganda, Tupolev 134, pesawat Soviet yang sedianya akan melakukan penerbangan domestik dari Lvov menuju Minsk tapi dipaksa oleh Lazareff dan Mishkin untuk berbelok ke barat tapi bahan bakarnya hanya cukup sampai Berlin. Saat Kapten Rudenko berniat mendaratkan pesawatnya di Berlin Timur yang masih masuk kawasan Soviet, kedua pembajak ini segera sadar dan memaksa sang kapten untuk naik kembali, tapi kepanikan membuat keadaan makin parah. Dalam kepanikan itu, tanpa sengaja Mishkin menembak Kapten Rudenko hingga tewas. Kendali pesawat digantikan oleh seorang kopilot yang masih muda dan ketakutan di bawah todongan senjata kedua pembajak tersebut. Sebenarnya Tupolev yang tengah dibajak ini saat melintas di Warsawa sempat dikepung enam pesawat tempur Soviet Mig-23 yang berbasis di Polandia. Sang Menteri Pertahanan, Nikolai Kerensky pun telah mendapat laporan tapi ia pikir hal ini bisa jadi skandal akhir yang akan menjatuhkan Rudin di mata politbiro, maka tak ada tindakan apa-apa yang dilakukan terhadap Tupolev yang tengah dibajak itu. Adalah seorang polisi bandara dari Berlin Barat yang akhirnya menembak ban pesawat yang tengah melayang oleng di atas rumah-rumah di luar pagar lingkungan bandara, karena mengira ini adalah salah satu bentuk lain dari serangan Soviet. Tupolev yang tengah dibajak itupun jatuh di basis Angkatan Udara Amerika Serikat di Berlin Barat.

Penahanan Lazareff dan Mishkin oleh pihak Berlin Barat ini memunculkan polemik internasional. Rudin yang akhirnya tahu bahwa kedua pembajak itu adalah pembunuh sang Kepala KGB kepercayaannya, ingin keduanya dikembalikan ke Soviet untuk menerima pembalasan dendamnya. Tapi pihak pemerintah Federal Jerman tak bisa begitu saja menyerahkan keduanya kepada Soviet mengingat posisi jatuhnya adalah di kawasan Berlin Barat walaupun pesawat yang dibajak mereka adalah pesawat Soviet dan seluruh penumpangnya pun merupakan warga Uni Soviet, pun penembakan terhadap Kapten pesawat itu terjadi di kawasan udara Soviet. Pertimbangan lainnya, keduanya adalah warga keturunan Yahudi yang amat dibenci Soviet sehingga pihak Federal Jerman tak bisa begitu saja membiarkan kedua pembajak malang itu dihukum secara tidak adil di Soviet. Rudin yang geram pun mengancam Presiden Amerika Serikat, William Matthews, agar mendesak pemerintah Federal Jerman untuk mengembalikan kedua pembajak itu ke tangan Soviet, apalagi pesawat Tupolev yang dibajak itu jatuh di Pangkalan Angkatan Udara Amerika Serikat di Berlin Barat. Pilihan yang ditawarkan oleh Rudin pada Matthews adalah serahkan kedua pembajak itu kepada Soviet atau Traktat Dublin batal. Amerika Serikat pun kebingungan. Walaupun sebenarnya Rudin akan menghadapi bencana besar yang mungkin berujung pada pelengserannya bila Traktat Dublin itu batal yang artinya pengiriman gandum dari Amerika Serikat pun batal, tapi bagi Rudin akan lebih mengerikan akibatnya bila sampai kedua pembajak itu lepas dari Soviet dan mengungkapkan mengenai pembunuhan yang dilakukan mereka terhadap Kepala KGB.

Gagalnya pembajakan yang dilakukan Lazareff dan Mishkin yang sedianya akan melarikan diri ke Israel dan bukannya mendekam di penjara Berlin Barat ini pun menjadi keprihatinan rekan sekelompoknya. Dalam kebingungan ini, Andrew Drake, pemimpin dari gerakan rahasia ini menemukan cara lain untuk menyelamatkan dua rekannya hingga sampai ke Israel dan mengumumkan pembunuhan yang mereka lakukan sesuai rencana. Mereka akan membajak sebuah kapal tanker penuh muatan minyak menuju Belanda. Pembajakan atas kapal tanker bernama Freya inilah yang menjadi polemik internasional karena jutaan ton minyak yang dibawa kapal tanker ini bila sampai benar-benar ditumpahkan oleh para pembajaknya ini akan menimbulkan dampak lingkungan serius di lima daerah pantai Eropa Barat. Segala upaya dilakukan untuk menyelamatkan Freya. Pasukan Khusus bahkan sudah disiapkan Inggris untuk mengambil alih Freya dari para pembajak. Amerika Serikat pun telah memerintahkan kapal tempurnya yang kebetulan berada di sana untuk menembak dan menenggelamkan Freya bila sudah tak ada opsi lain. Sementara itu di dalam kapal tanker itu juga terjadi perang psikologis antara kapten dari kapal tanker itu, pelaut Norwegia, Thor Larsen dengan Andrew Drake yang menggunakan nama samaran Svoboda, sebuah kata dalam bahasa Ukraina yang berarti kebebasan.

Di antara drama pembajakan ini, sepertinya tak ada solusinya ini selain memenuhi permintaan para pembajaknya, untuk mengirimkan Lazareff dan Mishkin ke Israel. Tapi bila hal ini yang dilakukan maka posisi William Matthews, Presiden Amerika Serikat akan sulit, Traktat Dublin yang digadang-gadang akan menjadi warisan dari akhir masa pemerintahannya yang akan membuatnya dikenang karena berhasil membawa perdamaian dunia akan kandas. Presiden Amerika Serikat pun mencoba mencari tahu mengapa Presiden Soviet, Maxim Rudin begitu ngotot memaksa pengembalian kedua pembajak keturunan Yahudi itu dan mengorbankan karirnya sendiri. Presiden Matthews pun meminta Perdana Menteri Inggris, Joan Carpenter mencari tahu lewat Bulbul apa yang sebenarnya tengah terjadi. Tapi demi mencari jawaban ini bayarannya amat mahal bagi Adam Munro. Ia harus kehilangan Valentina alias Bulbul untuk kedua kalinya. Munro yang marah pada kedua pemimpin dunia itu yang telah membuatnya harus kehilangan kembali wanita yang dicintainya mengorbankan karirnya sebagai agen intelijen, tapi ia memberikan solusi yang akhirnya berhasil menyelamatkan Presiden Uni Soviet dan Amerika Serikat. Namun di ujung kisah, Munro menemukan kebenaran yang sama sekali tak disangkanya. Sebuah kenyataan sebenarnya mengenai wanita yang dicintainya itu.

Catatan: Frederick Forsyth memang sangat piawai dalam meramu cerita mengenai spionase yang diramu dengan intrik-intrik politik internasional tingkat tinggi. Begitu pun kisah dalam novel The Devil's Alternative ini, tapi menurut pendapat pribadiku sendiri, novel ini tak semenarik The Fourth Protocol. Meski begitu, seperti karya-karya Frederick Forsyth lainnya, dalam novelnya ini, pembaca akan benar-benar dibuat tercengang dengan ending yang sama sekali tak terduga. Sedikit catatan juga untuk penerbit Serambi, yang menerbitkan novel The Devil's Alternative terjemahan Indonesia ini, ada beberapa terjemahan kata ganti orang pertama dan kedua yang rasanya tak pas. Kelihatannya penerjemahnya kebingungan memilih penggunaan kata ganti orang pertama dan kedua yang pas. Ada dalam satu paragraf, yang merupakan percakapan antara Svoboda dengan Kapten Thor Larsen, Svoboda sampai menggunakan dua kata ganti orang pertama, Saya dan Aku dalam pembicaraan tersebut terhadap orang yang sama, seperti yang tercetak di halaman 538:

"Kamu orang yang berani, Thor Larsen," katanya. "Tapi tak ada yang berubah. Aku masih dapat menumpahkan setiap ton minyak mentah dari kapal ini dengan pompanya sendiri dan sebelum selesai separuhnya, angkatan laut di luar sana akan menembak Freya dan menyelesaikan tugasnya. Kalau pihak Jerman melanggar janjinya lagi, itulah yang akan saya lakukan pukul sembilan nanti."

Juga dalam satu paragraf yang juga merupakan bentuk percakapan, sampai ada dua kata ganti orang kedua, Kamu dan Anda.

Tapi ada satu kalimat yang mengesankan bagiku yang terdapat dalam halaman 100. Kalimat ini merupakan potongan pidato yang diucapkan oleh pujangga modern paling terkemuka Ukraina, Ivan Dzuba pada 29 September 1966 dekat Kiev, di celah Babi Yar tempat di mana 50.000 lebih orang Yahudi dibantai oleh SS Nazi pada 1941-1942, dan tempat ini dipilih Dzuba untuk mengucapkan pidatonya yang ditujukan untuk mengkritisi semua bentuk tirani baik Nazisme maupun Fasisme seperti yang dilakukan Soviet yang menghancurkan semangat manusia secara brutal.

"Oleh karena itu, seharusnya kita nilai setiap masyarakat," katanya, "bukan dari prestasi teknisnya semata, melainkan dari posisi serta maknanya bagi manusia, dari nilainya bagi martabat serta nurani manusia."