Total Tayangan Halaman

Translate

Selasa, 22 April 2008

Puisi1

Kumpulan Puisi

Oleh: Herny S. Yahya

Balok-Balok Mimpiku

Ku susun balok-balok mimpiku
Tinggi menjulang
Tanpa bentuk

Jakarta, 6 Juni 2003

Nurani

Nurani berjalan tak tahu arah
Membentur dinding-dinding dingin keserakahan
Menembus lorong-lorong gelap
bernama
Ambisi dan angkara!

Jakarta, 10 April 2003

Kesunyian

Kesunyian
Begitu menyenangkan
Saat hati terasa penat dan penuh

Kesunyian
Begitu mengerikan dan mencekam
Saat hidup terasa kosong

Jakarta, 25 Agustus 2004
Rev: 12 Mei 2006

Kerinduan

Matanya yang basah
menatap langit
Teringat akan anak-anaknya
yang pergi
dan belum kembali

Senja telah membayang
namun anak-anaknya
Belum juga pulang

Terucap dari bibir tuanya
Sebelum matanya terkatup
“cepatlah pulang anakku”

Jakarta, 11 Mei 2006
Untuk: Nenekku yang jauh dalam hatinya merindukan anak-anaknya yang terhilang


Dua wajah

Pada mata nenekku
Kulihat telaga yang dalam
Penuh kekecewaan dan penyesalan
Akan tahun-tahun yang terlewati

Pada wajah ibuku
Kutemukan guratan-guratan
Kepahitan dan keputusasaan
oleh gerusan waktu

Pada cermin
Kutemukan mata nenekku
Dan wajah ibuku
Dalam diriku
Yang berdiri bimbang
Menatap jalan yang terbentang

Jakarta, 11 Mei 2006

Namun Kapal Tetap Merapat

Layar telah terkembang
Sauh telah terangkat
Namun kapal tetap merapat
Tak jua berangkat

Jakarta, 11 Mei 2006

Penantian

Tahukah kau, lara
Daun-daun sudah menguning
Tua
Dan luruh

Tahukah kau, lara
Tunas-tunas muda baru muncul
Muda
Dan merekah

Tahukah kau, lara
Bulan tak lagi muncul
Bersembunyi
Entah di mana

Tahukah kau, lara
Aku terbaring sekarat
Dalam
Kekecewaan

Jakarta, 11 Agustus 2003

Rapuh

Betapa rapuhnya mimpi
Dalam balutan
Angan-angan semu

Jakarta, 13 Juni 2003

Nafas

Kumulai lagi menulis
Puisi
Bukan karena aku mencintai
Puisi
Bukan pula untuk
Mengisi waktu senggangku

Kumulai lagi menulis
Puisi
Karena puisi
Adalah nafasku!

Jakarta, 3 September 2002

Bawa Saja Ceritamu!

Bawa saja ceritamu!
Bawa saja cintamu!
Bawa saja lukamu!

Aku ingin sendiri
di sini
menatap langit
mendengar angin membisik mesra
menyampaikan mimpi
yang tak henti kurangkai

Aku ingin sendiri
di sini
menikmati sunyi
hingga aku mati
dicabik rasa sepi

Jakarta, 2 Juni 2006

Dilema

Kadang hidup membuatku lelah

meski aku kadang berharap
waktu berhenti,
namun aku takut bila hidup
turut terhenti

Kadang hidup membuatku jenuh

dan pagi bagai mimpi buruk bagiku;
namun aku selalu takut
bila mentari tak lagi datang

jangan tertawakan aku dan jangan
kotbahi aku dengan
retorikamu
tentang arti hidup dan anugrah

jangan katakan kau
tak pernah merasa
jenuh dan lelah atas
hidupmu!!!

Jakarta, 13 Juli 2006

Jangan Sekalipun Kau Biarkan

Ingin sekali aku membunuhmu!
Namun kau seperti tanpa bentuk
Pada kayu kau berubah menjadi kayu
Pada batu kaupun serupa dengannya
Pada daun kau tak ada ubahnya
Menatap dengan matamu yang mengejek!!

Betapa aku muak melihatmu!
Namun kau ada di mana-mana
Pada kayu
Pada batu
Pada daun
Menertawakanku dengan suara malaikatmu!

Ah, Tuhan
Meski aku hancur lebur
Dirajam batu
Jangan sekalipun Kau biarkan
Aku menjadi seorang bunglon!!!

Jakarta, 13 Juli 2006

Kepada Tuhan

Tuhan,
Kau mengenal tiap-tiap pribadi
Kau mengetahui kedalaman
tiap-tiap hati

Tuhan,
Kau mengenal seberapa besar kekuatan
seseorang
Kau mengetahui seberapa rapuh hati
seseorang

Tuhan,
Kaulah yang tahu
hari-hari setiap orang
Kepada-Mulah setiap orang
akan berpulang

Tuhan,
Tak hentinya aku mengagumi
Kebesaran-Mu
Tak hentinya kusyukuri
Anugrah-Mu

Tuhan,
Kurasakan dalam setiap nadiku
Kau mengalir bersama darahku
Kurasakan dalam jiwaku
Kau berdetak seirama jantungku

Tuhan,
Betapa dekat kurasakan
Keberadaan-Mu
Hingga kurasakan nafas hangat-Mu
Mengisi relung-relung hampa jiwaku

Jakarta, 13 Juli 2006

Kadang Aku

kadang aku terbangun dari mimpi buruk
dan aku bersyukur karena semua hanyalah
mimpi
namun
kadang
aku tak dapat menyadari
antara
realita
dan mimpi

Jakarta, 26 Agustus 2006

Untuk Rere

dalam mataku, terbayang
mimik lucu wajahmu
dan segala tingkah menggemaskanmu

dalam tanganku, kurasakan
jari jemarimu yang mungil
menggenggam jemariku dengan kuat
seolah enggan melepaskannya
walau akhirnya genggamanmu terurai jua
dari genggamanku

dalam telingaku, terngiang
celoteh-celoteh lucumu
yang mengisi seluruh ruang
hingga setiap sudut hati

dalam hatiku, tersirat
segala harapan dan doa untukmu
agar kelak:
saat derap-derap kecil kakimu menjadi langkah-langkah yang cukup kuat
saat tangan-tangan mungilmu cukup besar untuk merangkul dunia
saat suaramu memiliki artikulasi yang jelas untuk mengucapkan setiap kata:
aku berharap saat itu hingga kapanpun
jangan pernah kau koyakkan nurani;
karena nurani adalah jiwa yang paling hakiki!

Jakarta, 28 Agustus 2006

Rumah Masa Kecilku

betapa amat kurindukan
rumah masa kecilku
karena di sana terkubur
harapan dan mimpi-mimpi manisku
dan serabut-serabut mimpi itu
terus membelit jiwaku

betapa pedih kurasakan
saat kudapati rumah masa kecilku
hancur terkikis waktu
meninggalkan lubang besar
kepahitan
ditumbuhi ilalang kebencian
berbaur bersama belukar kekecewaan

Jakarta, 26 Agustus 2006

Seorang Manusia di Ujung Jalan

seorang manusia di ujung jalan
melepas jejak-jejak yang tertinggal
menghembus angin melibas ragu
meniti titik-titik air nirwana
menuju dunia di atas kata

Seraut wajah penuh senyum
berselimut awan semburat jingga
menatap lembut
seorang manusia di ujung jalan
yang melepas segala bimbang dan ragu
yang bergejolak bergemuruh dalam raga
berlari penuh kerinduan
menuju wajah berselimut awan jingga

Seorang manusia di ujung jalan …

17.09.06

Lukisan Langit

Wajah ibuku saat tidur
seperti langit melukis malam
menempatkan titik-titik cahaya
di sepanjang gulita
menampilkan kesyahduan
di balik peraduan

Wajah ibuku saat tertawa
laksana langit melukis siang
menggoreskan spektrum-spektrum cahaya
berkilau warna dalam mentari
menyelipkan aroma
dalam derai-derai melodi jiwa

Wajah ibuku kala berduka
bagai langit melukis petang
menyapukan nuansa jingga
laksana jiwa yang membara
dalam penantian yang dipadamkan
menyisakan kesenduan
dalam jiwa-jiwa yang merindu

17.09.06
Buat: Mama

Lewat Mata Ibuku

Kukenal sosok ayahku
Kesahajaan dan pesonanya
Lewat tutur ibuku
Lewat kenangan yang terkuak
Dalam jiwa ibuku

Lewat mata ibuku:
kulihat cinta bukanlah omong kosong
ataupun kebodohan
melainkan anugrah terindah Tuhan
bagi jiwa-jiwa fana manusia;
agar hidup dapat lebih berarti?

17.09.06
Untuk: Ayah dalam kenangan ibuku

Helai-Helai Bunga Kemuning

Helai-helai bunga kemuning
luruh satu persatu
diterbangkan angin entah ke mana
menyisakan aroma
dalam udara yang mewangi

Helai-helai bunga kemuning
luruh satu persatu
bagai mimpi-mimpi masa mudaku
terbang menguap tanpa dapat kuraih
lagi …;
menyisakan kesedihan
dan penyesalan;
berharap waktu dapat terulang
lagi …?

17.09.06

Tidak ada komentar: