Total Tayangan Halaman

Translate

Selasa, 22 April 2008

SETELAH HUJAN REDA

Setelah Hujan Reda

Oleh: Herny S. Yahya

Ia duduk di dekat jendela seperti biasa. Kegiatan membosankan yang telah menjadi kebiasaannya sejak setahun belakangan ini. Di luar hujan turun dengan deras. Titik-titik airnya seperti jarum-jarum yang menghujam menusuk daging bumi.
Waktu kecil, ia suka sekali menyaksikan hujan turun seperti saat ini. Mendengarkan suara rintik-rintik air hujan yang jatuh menetes di atas atap, membaui aroma tanah setelah hujan dan melihat tetes-tetes air yang menempel di dedaunan.
Ah, betapa waktu telah lama berlalu. Namun, dulu waktu terasa amat singkat untuknya. Dulu sebelum kecelakaan itu, ia bisa pergi ke mana saja, melakukan apapun. Begitu banyak kegiatan yang harus dilakukannya, hingga ia merasa tak pernah memiliki cukup waktu. Kini, hidupnya seperti terpenjara di atas kursi roda dalam rumah yang megah ini. Tak banyak kegiatan yang bisa dilakukannya selain hanya duduk dan melamun di depan jendela seperti saat ini, hingga ia merasa waktu merayap dengan amat lambat.
Kecelakaan itu bukan hanya telah merenggut kedua kakinya, tapi juga anak-anaknya. Sementara ia telah kehilangan suaminya jauh sebelum kecelakaan itu terjadi.
Entah sejak kapan pernikahannya menjadi hambar. Memang benar jika dikatakan bahwa perceraian terjadi bukan karena tidak ada lagi cinta di dalamnya. Perceraian terjadi karena tidak adanya komunikasi di dalam pernikahan itu.
Bukannya ia tidak mensyukuri apa yang telah dimilikinya seperti yang dikatakan orang-orang tentang dirinya. Ia merasa beruntung karena memiliki anak-anak yang cantik dan tampan juga cerdas. Ia juga mensyukuri usaha suaminya yang terus meningkat hingga akhirnya mereka memiliki materi yang berkelimpahan. Namun, seiring dengan meningkatnya bisnis suaminya, ia justru kehilangan suaminya.
Suaminya terlalu sibuk dengan kegiatan usahanya. Seringkali suaminya harus keluar kota dalam menjalankan bisnisnya. Rumah sudah seperti hotel saja bagi suaminya. Pulang ke rumah hanya untuk tidur saja. Kadang suaminya pulang saat rembang pagi mulai menyingsing di ufuk timur. Bahkan, seringkali juga suaminya tidak pulang ke rumah jika harus melakukan perjalanan ke luar kota atau ke luar negeri.
Jarangnya intensitas pertemuan mereka telah membuat komunikasi mereka juga berkurang yang pada akhirnya menciptakan rentang jarak dan berimbas pada keharmonisan mereka sebagai suami istri. Saat anak-anaknya masih kecil, ia tidak terlalu merasa kesepian, karena ia sudah cukup sibuk oleh celoteh dan tingkah polah anak-anaknya. Namun, setelah anak-anaknya beranjak dewasa, barulah rumahnya terasa kosong dan hampa baginya. Namun, tak sekosong dan sehampa seperti saat ini.
Dalam kebosanannya menghadapi kehidupan rumah tangga yang terasa hambar itu, ia seringkali menghadiri seminar-seminar. Kadang ia memang suka menghabiskan waktu di mall dengan berbelanja. Namun, lama kelamaan ia merasa bosan dan menurutnya kegiatan shopping gila-gilaan itu tidak berguna dan hanya merupakan kebodohan saja. Ia lebih suka mengikuti seminar-seminar yang diadakan oleh harian-harian ibukota. Kadang ia mengikuti seminar mengenai kewanitaan seperti seminar kecantikan atau seminar yang membahas mengenai kesehatan reproduksi wanita. Ia juga menghadiri seminar-seminar mengenai kesehatan dan pendidikan.
Saat mengikuti salah satu seminar itulah ia bertemu dengan seorang pria yang mampu menghapuskan rasa kesepian dan kekosongan dalam jiwanya. Semula mereka hanya menjadi kawan bertukar pikiran, namun dengan bertambahnya kuantitas pertemuan mereka dan komunikasi yang terjalin di antara mereka, tumbuhlah rasa ketertarikan yang kian hari kian tumbuh subur dan berkembang dalam hati mereka masing-masing.
Kadang hati kecilnya menegur dan mengingatkannya agar ia menghentikannya sebelum terlibat terlalu jauh. Ia sadar bahwa ia telah menikah, dan pria itupun mengetahuinya karena ia tak pernah menutupinya. Namun, bukannya menjauh, mereka malah terjebak makin dalam.
Saat hubungan itu telah membuahkan janin di dalam rahimnya, barulah ia menyadari bahwa ia telah terperosok terlalu jauh. Bukan hanya sekali dua, ia berperang dalam dirinya untuk mengakui dan mengatakan yang sebenarnya pada suaminya meski ia sadar bahwa pengakuannya itu akan berujung pada perceraian. Toh baginya ia tak lagi merasakan ikatan pernikahan itu selain sehelai kertas, berupa surat nikah yang telah mengikat mereka menjadi sepasang suami istri. Pada kenyataannya, ia bahkan tak mengerti arti pernikahan itu sendiri.
Bukan perceraian itu yang ditakutinya. Ia hanya takut, jika ia mengatakan yang sebenarnya pada suaminya, maka ia akan kehilangan anak-anaknya. Bukankah bagi seorang ibu, anak adalah segala-galanya. Demikian juga dengan dirinya. Ia rela kehilangan segala-galanya asalkan bisa tetap memiliki anak-anaknya.
Akhirnya di malam hari yang berhujan itu, ia memutuskan untuk menggugurkan kandungannya. Meski ia merasa berat karena bagaimanapun juga janin itu merupakan darah dagingnya sendiri, namun ia lebih tak dapat kehilangan kedua anaknya yang telah tumbuh besar di tangannya. Dan hal itu telah dikemukakannya kepada pria itu. Ia tidak dapat melepaskan pernikahannya, karena ia tak ingin kehilangan anak-anaknya. Pria itupun menyetujuinya. Pria itu segera mencari dokter yang bersedia untuk melakukan aborsi dengan bayaran yang sangat besar tentunya.
Dengan ditemani pria itu, ia pergi menuju tempat praktek dokter yang bersedia melakukan abortus itu Tempatnya agak di luar kota Jakarta, di sebuah kampung kumuh dan mereka agak kesulitan menemukan tempat praktek dokter itu karena tempat itu sudah pasti tanpa papan nama. Mereka menyusuri jalan-jalan yang berliku dan becek akibat air hujan yang membasahi jalan.
Dalam cuaca berkabut dan jalan yang gelap, mereka tak menyadari ketika sebuah truk berlari kencang ke arah mereka. mungkin supirnya mabuk atau mungkin juga supir itu tak dapat melihat dengan jelas dalam cuaca yang berkabut dan gelap seperti saat itu. Pria yang menyetir di sebelahnya itu mencoba membanting setir untuk menghindari tabrakan. Namun mobilnya mengalami slip sehingga mobilnya malah bergerak liar menuju arah truk dan tabrakkan pun tak dapat dihindari.
Ia menjerit sekerasnya saat tabrakan itu terjadi sambil memegangi perutnya seolah melindungi anak dalam kandungannya. Ia merasa bahwa kecelakan itu merupakan hukuman bagi mereka karena telah berniat untuk membunuh darah daging mereka sendiri. Sebelum gelap menyelimutinya ia sempat melihat kobaran api yang menyala terang seperti api neraka.
Saat ia siuman, ia telah berada di rumah sakit. Ia melihat wajah anak-anaknya yang tampak cemas, namun ia merasa melihat ada kilatan kecewa dan kebencian dalam mata mereka saat melihatnya. Ia juga melihat suaminya yang duduk di kursi dekat tempat tidurnya. Wajah suaminya tampak lebih tua daripada usia sebenarnya. Wajahnya kusut dan ia juga merasa melihat kilatan kebencian dan kekecewaan dalam sinar mata suaminya seperti yang dilihatnya dalam mata anak-anaknya.
Yang pertama terlintas dalam benaknya setelah sadar adalah janinnya, sehingga tanpa sadar ia langsung bertanya pada suaminya, “Bagaimana kandunganku?”
“Kau baru saja mengalami keguguran. Jangan terlalu banyak bergerak. Kau harus banyak istirahat. Aku akan memanggil dan memberitahu dokter bahwa kau sudah sadar,” jawab suaminya dengan kata-kata yang terdengar penuh simpati dan perhatian, namun ia menangkap kata-kata itu diucapkan suaminya dengan nada yang sedingin es.
Ia menyaksikan suaminya yang tampak lelah dan terpukul memalingkan wajahnya dan melangkah ke luar memanggil dokter. Melihat suaminya, ia yakin bahwa suaminya pasti telah mengetahui perselingkuhannya.
Dipalingkannya wajahnya dan menatap anak-anaknya. Namun, anak-anaknya memalingkan wajah mereka menghindari tatapannya. “Apakah mereka juga tahu mengenai perselingkuhanku?” tanyanya dalam hati. Dengan lemah dipanggilnya nama anak-anaknya.
Putrinya, Nadine tak mau menjawabnya dan memalingkan wajahnya. Sementara Letho, putranya menghampirinya dan bertanya, “Apa mama merasa sakit? Mama sudah koma selama 7 hari.”
“Papa menunggui mama setiap hari. Tahukah mama, papa sudah seperti orang gila ketika mendengar mama kecelakaan?” ujar Nadine melanjutkan kata-kata kakaknya. Entah hanya perasaannya atau bukan, ia mendengar Nadine memberikan tekanan pada kalimatnya yang terakhir.
Belakangan ia tahu dari dokter bahwa pria yang bersamanya di dalam mobil itu tewas dalam perjalanan menuju rumah sakit. “Ya Tuhan. Apakah kobaran api itu benar-benar api neraka untuk menghukum kami karena kami bukan hanya telah melakukan dosa perzinahan tapi juga berniat membunuh janin bayi yang merupakan darah daging kami berdua?” batinnya dalam hati.
Kadang penyesalan memang suka datang terlambat seperti yang dirasakannya saat ini. Ia merasa Tuhan benar-benar sedang menghukumnya. Bukan saja ia telah kehilangan bayinya dan pria itu. Dokter mengatakan bahwa kakinya harus diamputasi demi keselamatan jiwanya. Ia sudah tak dapat lagi menjerit atau menolak.
“Mengapa aku tidak mati saat kecelakaan itu sehingga aku tak perlu mengalami penyiksaan seperti ini?” rintihnya dalam hati.
Saat sebelum dan sesudah operasi, suaminya selalu menemani di sisinya. Ia ingin mengucapkan maaf pada suaminya, namun lidahnya terasa kelu dan ia merasa menjadi pengecut saat melihat wajah suaminya yang tampak hampa menatapnya. Meski ia telah mengumpulkan segenap keberanian, namun ia tak sanggup mengatakan sepotongpun kata maaf . Ia berharap suaminya memakinya dan tidak diam seperti saat ini. Baginya, sikap diam suaminya itu seperti lecutan cambuk yang mengiris setiap daging dalam jiwanya.
“Sebaiknya kita bercerai saja,” ujarnya setelah mengumpulkan segenap keberaniannya. Saat itu ia sedang dalam proses pemulihan setelah operasi.
Suaminya menatapnya lama sebelum akhirnya bertanya, “mengapa?”
“Aku telah menghianatimu. Aku telah melakukan perbuatan tercela yang takkan termaafkan. Aku tahu kau pasti sangat membenciku dan takkan pernah memaafkanku. Aku sendiri bahkan merasa jijik pada diriku. Aku hanya mohon padamu, jangan pisahkan aku dengan anak-anakku. Aku telah membayar cukup banyak untuk dosa-dosaku. Aku telah kehilangan bayiku dan kakiku.”
“Kania. Kau baru mengalami guncangan. Kau pulihkan dulu dirimu. Aku memang kecewa dan sempat membencimu. Namun, aku tak pernah berpikir untuk bercerai. Aku takkan pernah menceraikanmu. Mungkin tidak sepenuhnya semua salahmu. Kupikir aku juga turut andil dalam semua ini. Kania, bagaimana jika kita mulai lagi dari awal. Kita lupakan masa lalu. Yang lalu biarlah berlalu lalu kita cari lagi cinta kita yang telah pudar. Berikanlah kesempatan kedua bagi kita.”
Mendengar kata-kata suaminya ia merasa terharu. Dan dalam hati ia bertekad, apapun yang dilakukan suaminya, ia berjanji takkan lagi mengkhianati pernikahan mereka. Ia sungguh-sungguh berharap dapat menemukan kembali cinta mereka yang telah pudar itu, seperti yang diharapkan oleh suaminya.
Namun, sekembalinya ia ke rumah itu, ia kembali merasa terpenjara dalam rumahnya yang besar itu. Ia kembali kehilangan suaminya, karena suaminya tak ikut bersamanya mencari cinta mereka yang telah pudar itu. Suaminya kembali sibuk dengan urusan bisnisnya. Anak-anaknya juga sibuk dengan kuliah-kuliah mereka dan teman-teman mereka. Sehingga ia kembali selalu sendirian dalam istana mereka yang terasa makin dingin dan hampa.
Orang-orang mungkin mengatakan bahwa ia sangat beruntung karena memiliki suami yang pengertian dan pemaaf. Sudah tahu istrinya berselingkuh, tapi masih mau menerimanya. Apalagi istrinya kini sudah lumpuh!
Ia sendiri jadi ragu, mengapa suaminya menolak untuk bercerai? Benarkah kata-kata suaminya yang ingin mencari cinta mereka yang telah pudar itu? Atau suaminya tak ingin menceraikannya karena ia lumpuh? Apakah suaminya takut dengan penilaian orang-orang yang akan mengatakannya kejam karena menceraikan istrinya yang telah lumpuh? Sebenarnya masih adakah cinta dalam hati suaminya untuk dirinya?
Yang paling membuatnya menderita adalah penolakan anak-anaknya atas dirinya. Mereka seperti makin menjauh dari dirinya. Apakah mereka marah padanya karena ia berselingkuh dan hampir menjadi seorang pembunuh? Namun, ia menjalani hari-harinya dengan tabah, karena menganggap bahwa semua itu adalah hukuman bagi dirinya. Dalam hatinya ia terus berharap bisa mendapatkan kembali cinta dan kepercayaan dari suami dan anak-anaknya.
Hujan telah reda. Ia jadi teringat kata-kata temannya dulu, “Aku tidak suka hujan! Apa romantisnya hujan-hujanan jika setelah itu jadi sakit karena kehujanan? Aku lebih suka pelangi yang muncul setelah hujan.”
Tapi saat ini, meski hujan telah berhenti, pelangi tak juga muncul. Dalam hati ia bertanya, “Masih adakah pelangi untukku? Pelangi cinta dari suami dan anak-anakku?
Ia terkenang saat-saat pacaran dulu, suaminya suka sekali menulis surat cinta untuknya, yang masih disimpannya hingga saat ini. Namun, setelah menikah, suaminya tak pernah lagi menulis surat cinta ataupun mengatakan cinta padanya.
Senja mulai membayang. Ia mengambil pena dan kertas kemudian mulai menulis. Ia menulis surat cinta pertamanya untuk suaminya. Ia bertekad untuk meraih kembali sedikit demi sedikit cinta dan kepercayaan suami dan anak-anaknya padanya.

Tidak ada komentar: