Total Tayangan Halaman

Translate

Selasa, 22 April 2008

Sapta Lintang

Sapta Lintang

H.S. Yahya


Malam telah larut. Lampu di rumah-rumah sudah lama dinyalakan untuk kemudian dipadamkan kembali. Hanya lampu-lampu taman saja yang dibiarkan tetap menyala. Malam kian larut. Sebagian dunia sepertinya telah lama terlelap, sementara sebagian dunia lainnya justru sedang beraktifitas atau baru saja akan memulai aktifitas rutinnya. Sementara aku yang seharusnya berada pada belahan dunia yang mestinya sedang asyik terlelap melintasi dunia mimpi, namun jam biologisku malah sepertinya mengikuti mereka pada belahan dunia lainnya, yang mungkin saat ini sedang bangkit dengan rasa enggan dari tempat tidurnya. Kutarik nafas dalam-dalam saat menyadari hari telah pagi yang artinya satu lagi hari baru dengan rutinitas yang membosankan.

Sebenarnya tadi saat senja menjelang malam, mataku terasa berat digantungi kantuk. Namun ketika aku memejamkan mata, peristiwa tadi siang yang kusaksikan lewat televisi di rumahku terbentang kembali di depan mataku; rasa kantuk itupun menguap entah kemana.

Kucoba menyingkirkan kejadian tadi siang yang kusaksikan dari layar kaca. Adegan di mana kau hampir meraih kemenangan yang mungkin merupakan kemenangan terindah di akhir karirmu.

Ah, seribu satu macam pengandaian menyeruak dalam benakku. Seandainya kecerobohan di Monaco dan Hungaria tidak terjadi. Seandainya kau tidak memutuskan pensiun di akhir musim. Seandainya dewi fortuna masih mesra menggayutimu. Seandainya…, kumaki diriku yang terus saja memikirkan segala macam pengandaian dan mencoba memejamkan mataku kembali sambil menyanyikan bait-bait lagu dalam hatiku. Iini sudah menjadi kebiasaanku jika aku tidak bisa tidur. Lama-lama rasa kantuk itu memang kembali datang, namun lagi-lagi aku kembali terjaga karena sebuah mimpi buruk.

Sebenarnya aku bukanlah orang yang percaya pada hal-hal yang berbau takhayul atau semacamnya. Di antara teman-temanku, aku dikenal cukup logis. Bagiku segala sesuatu di dunia ini pasti memiliki penjelasan yang dapat dijabarkan secara ilmiah dan dapat diterima oleh akal sehat. Namun sejak mengenalmu aku jadi menyadari bahwa rasionalitas merupakan sifat irasionalitas yang terselubung. Manusia sebenarnya adalah makhluk yang irasionalitas (atau mungkin lebih tepat dikatakan kontradiktif?). Manusialah yang menciptakan perang. Dan bukankah manusia juga yang menggusur makhluk hidup lainnya demi membangun rumah-rumah tinggal bagi mereka; karena tingkat pertumbuhan dan kelahiran mereka meningkat lebih pesat dibanding makhluk hidup lainnya? Manusia yang demikian tinggi, merusak ekosistem alam dan mengancam kelangsungan makhluk hidup lainnya, namun manusia juga yang mendengungkan perdamaian tanpa dapat menyadari bahwa sebelum mengharapkan perdamaian dunia; terlebih dulu sebaiknya manusia berdamai dengan dirinya sendiri. Mendamaikan ego dan nafsunya sendiri!

Salah satu fakta lain keirasionalitasan manusia adalah mimpi. Memang sebagian orang menganggap bahwa mimpi adalah bunga tidur yang tidak berarti apa-apa. Ada juga yang menganggap bahwa mimpi merupakan isyarat akan sesuatu hal yang akan terjadi. Ya,semacam petunjuklah. Sementara para psikiatri berpendapat bahwa mimpi merupakan keadaan alam bawah sadar dalam diri seseorang yang ditekan sedemikian rupa oleh pribadi tersebut agar tidak muncul di dalam keadaan nyata. Keadaan alam bawah sadar itu bisa merupakan ketakutan-ketakutan atau trauma-trauma masa kecilnya. Karena tidak memungkinkan untuk memunculkan keadaan alam bawah sadar itu dalam keadaan realitas, maka ketakutan atau hal-hal yang bersembunyi dalam alam bawah sadar seseorang tersebut muncul dalam bentuk mimpi.

Aku sendiri merupakan salah satu orang yang berpendapat bahwa mimpi hanyalah bunga tidur belaka. Aku tak pernah memikirkan mimpi secara mendalam. Namun, sejak mengenalmu dan kerap memimpikanmu dengan kejadian-kejadian yang mungkin akan terjadi pada dirimu, aku jadi suka memikirkan mimpi dan menganalisa mimpi tersebut. Apakah mimpi yang baru kualami merupakan petunjuk atau semacam isyarat, ataukah seperti yang dikatakan oleh para psikiatri bahwa aku terlalu takut membayangkan hal-hal buruk yang mungkin akan menimpamu sehingga aku menyaksikannya dalam mimpi?

Dan kini, aku kembali termenung menatapi langit-langit kamarku seraya mencoba meraih kembali kantukku. Namun berhubung kantuk itu telah lenyap, aku hanya berbaring diam di atas tempat tidurku seraya merangkai mimpiku yang baru saja kualami dan menganalisa mimpi yang baru kualami tersebut.

Karena aku tak dapat lagi melanjutkan tidurku, akhirnya aku bangkit dari tempat tidurku dan menuju ruang keluarga. Aku menyalakan televisi. Aku memencet-mencet tombol di remote seraya menyelonjorkan tubuhku di atas kursi mencari posisi yang dapat membuatku merasa nyaman. Namun karena tidak ada acara bagus yang bisa ditonton, akhirnya aku mematikan kembali layar televisi tersebut.

Setelah lama termenung diam, aku kembali bangkit dari kursi dan beranjak menuju teras rumahku; menatap langit yang hitam pekat. Dulu aku suka sekali memandangi bintang-bintang di langit. Ayahkulah yang mengenalkanku pada gugusan-gugusan bintang. Ayahku suka sekali mengajakku ke planetarium.

“Pa, bintang jatuh apa sih?”, tanyaku suatu hari.
“Bintang jatuh itu sebenarnya merupakan meteor, pecahan-pecahan benda langit. Konon kalau kau mengucapkan sebuah permintaan saat ada bintang jatuh, maka permintaanmu akan terkabul” jawab ayahku.
“Benarkah?” tanyaku menatap ayahku.
Ayahku tersenyum menatapku.

Dulu ayah adalah idolaku. Namun saat ayah dan ibuku bercerai -kemudian ayahku menikah lagi; dan bersama keluarga barunya, mereka pindah ke luar kota, meninggalkan aku dan adikku yang hanya terpaut dua tahun usianya denganku tetap bersama ibuku- kekagumanku pada ayahku mulai luntur. Memang kadang setiap kali ayahku datang ke kota kami, ayah selalu mengunjungi kami dan membawa kami pergi tamasya. Namun, ayah tidak ada saat aku dan adikku tumbuh besar.

Saat aku dan adikku mendengar bahwa orang tua kami akan bercerai dan mereka menjelaskan mengenai artinya, kami berdua menangis dan berdoa agar mereka tidak jadi bercerai. Aku bahkan mengucapkan permohonanku itu pada bintang, namun pada akhirnya mereka tetap bercerai.

Sejak itu aku tak lagi suka memandangi bintang ataupun pergi ke planetarium. Sekarang jika kuingat semua masa kecilku dan kebodohanku karena mempercayai kata-kata ayahku bahwa aku dapat menyampaikan permohonan pada bintang, aku jadi merasa seperti orang bodoh. Jika kukatakan mengenai permohonan yang kukatakan pada bintang kepada sahabatku, ia pasti akan menertawakanku seperti ia biasa menertawakan kebiasaanku yang irasional.

Aku bisa membayangkan yang akan ia katakan, “Mungkin bintangnya terlalu jauh darimu sehingga mereka tidak mendengar permohonanmu,” begitu pasti ia mengolokku.

Sahabatku itu memang selalu berpikir logis dan rasional meski sebenarnya ia juga seorang yang irasional. Bayangkan saja, waktu kecil, ketika anak-anak seusianya (termasuk aku) masih terkekeh-kekeh membaca Donald Bebek, ia sudah asyik menekuri novel-novel dewasa yang tebalnya saja aujubilah. Kemudian ketika kami mulai beralih membaca novel, ia sudah naik kelas dengan membaca buku-buku sastra yang struktur dan tata bahasanya begitu ngejelimet dan membuat kepala mumet bin pusing tujuh keliling. Entah, mungkin ia sudah bisa membaca begitu keluar dari rahim ibunya, atau mungkin ia belajar membaca saat masih berada dalam kandungan?

Ketika kami masih duduk di bangku sekolah, kami ditugaskan oleh guru bahasa membuat karangan bebas. Kami seperti anak-anak didikan rezim yang berkuasa kala itu; yang sangat menyanjung keberagaman semu dan memberangus kebebasan berpikir apalagi berpendapat -meski ada pasal dalam Undang-Undang tertinggi negara yang dibentuk oleh para pendiri bangsa yang menjamin kebebasan berpikir maupun berpendapat, membuat karangan dengan tema yang seragam dan membosankan. Berlibur Ke Rumah Nenek dan Kakek. Sementara ia sudah mengembangkan daya imajinasinya yang luar biasa melebihi anak-anak di kelas kami saat itu.

Kami merasa begitu bodoh dan miskin kreatifitas apalagi imajinasi ketika mendengarnya membacakan karangan bebasnya di depan kelas. Saat mendengarnya membaca karangannya, kami benar-benar takjub dan terpesona hingga kami berpikir bahwa ia tidak benar-benar nyata dan menganggapnya makhluk asing yang berasal dari negeri antah berantah seperti imajinasi dalam karangan bebasnya itu. Ia berpendapat bahwa ia adalah pribadi yang dewasa terlalu cepat, mengutip kata-kata penyair favoritnya, namun menurutku, ia dan juga dirimu adalah pribadi-pribadi yang luar biasa dan istimewa. Anehnya, mengapa ia tak menyukaimu, ya?

Setelah ayahku tidak lagi memenuhi syaratku untuk menjadi idola, aku mengalihkan kekagumanku pada Bill Clinton, Presiden Amerika yang kesekian. Namun, aku juga jadi muak dan mencoretnya sebagai idolaku karena skandalnya dengan karyawati magangnya. Aku sungguh tak dapat mengerti dan percaya; bagaimana mungkin, ia yang merupakan tokoh yang paling dipandang di dunia berlaku bodoh seperti itu dan mengkhianati kepercayaan yang telah diberikan oleh rakyat dan keluarganya sendiri? Sama seperti ayahku, bagaimana mungkin ayah begitu tega memutuskan berpisah dengan istri dan anak-anakknya sendiri? Oke, aku mengerti bahwa pernikahan adalah perpaduan dari dua jiwa manusia, dan ketika jiwa yang semula berpadu itu memiliki pergesekan-pergesekan yang tak lagi dapat dipadukan, maka tak ada jalan lain selain mengakhiri perpaduan itu. Tapi, benarkah tidak ada lagi jalan lain? Oke, aku bisa pahami bahwa aku sebagai anak tak mengerti masalah-masalah di antara kedua orang tuaku, namun tidak bisakah mereka mencari kembali hal-hal yang telah memadukan mereka demi kami anak-anaknya? Ah, kadang orang dewasa memang suka sekali mengesahkan keputusan dan tindakannya dengan mengatasnamakan demi kebaikan bersama juga demi kebaikan anak-anaknya, namun benarkah mereka dapat mengerti hal apa yang benar-benar dibutuhkan oleh anak-anaknya? Bagiku orang dewasa adalah orang paling egois sedunia. Setidaknya itulah pemikiranku saat aku kecil dulu. Kini setelah aku dewasa, makin banyak hal yang kuyakini saat kecil mulai luntur dan menjadi kabur.

Namun semua keyakinanku akan adanya keajaiban yang merupakan dunia masa kecilku kembali muncul saat aku mengenalmu. Semangat untuk meraih impian yang kuyakini saat kecil kembali mencuat ke atas diriku saat aku mengenalmu. Demi mencapai impianmu, kau telah mengerahkan segala daya upaya. Dalam mencapai mimpimu seringkali kau melibas segala keraguan yang ditujukan pada dirimu hingga akhirnya setiap orang yang semula meragukanmu mulai mengakui keberadaanmu dan kapabilitas yang memang sungguh-sungguh kau miliki.

Bintang yang dulu kulihat berada jauh di atas langit, seperti terepresentasikan ke dalam dirimu. Saat kau melaju menuju mimpi terindahmu menyingkirkan segala lawanmu, kau tampak seperti bintang yang bersinar paling terang.

Semangat dan dedikasi yang kau perlihatkan telah menyihir setiap orang yang mengagumimu. Memang ada beberapa ucapan miring yang ditujukan padamu. Mungkin karena ambisi dan keyakinan dirimu yang terlalu tinggi atau karena pencapaian-pencapaian yang telah kau raih melebihi apa yang dapat diterima secara rasional oleh orang lain? Tapi kau selalu dapat mengatasi semuanya itu. Kau terus memacu dirimu hingga kau mencapai apa yang menjadi impianmu. Kau bahkan dapat mengerahkan setiap orang yang berada di sekelilingmu untuk mengeluarkan seluruh potensi yang ada di dalam diri mereka masing-masing melebihi apa yang dapat mereka sendiri sadari.

Semangat dan dedikasi total yang kau tunjukkan pada akhirnya telah menulari orang-orang di sekelilingmu untuk dengan ikhlas dan rela hati, memberikan segala hal yang terbaik yang mereka miliki untuk dirimu. Kau adalah pribadi yang paling kompleks. Dipuja sekaligus dibenci. Dipuji sekaligus dicerca. Dicemooh sekaligus dikagumi. Dan itulah yang membuatmu menjadi pribadi yang sungguh-sungguh berbeda dan istimewa.

Setiap kali melihat kau berhasil mencapai puncak tertinggi. Melihat senyum hangat yang kau berikan sebagai ungkapan syukur dan terima kasihmu yang sungguh-sungguh tulus pada semua orang yang telah mendukungmu, membuatku yakin bahwa dalam hidup tidak melulu memberikan kegetiran namun juga ada hal-hal manis yang melebisi manisnya madu kala kita berhasil menggapai mimpi. Bahwa hidup memang pantas diperjuangkan.

Sahabatku pasti lagi-lagi akan menertawakanku atas segala ucapan pujianku padamu ini. Bagi sebagian orang mungkin menganggapku seorang penggemar fanatik yang kadang suka bersikap tolol dan konyol. Ya, kuakui aku memang penggemarmu. Tapi jika kita mengagumi semangat yang ada dalam diri seseorang, dapatkah perasaan itu disebut sebagai kebodohan dan kekonyolan? Aku memang mengagumi semangatmu yang luar biasa itu, namun aku bukanlah seorang penggemar fanatik yang kerap bersikap tolol dan konyol!

Aku terlebih suka disebut sebagai seorang pengagum setia karena memang aku sangat mengagumi segala prestasi, dedikasi dan semangatmu yang luar biasa itu.

Ah, manusia memang selalu membutuhkan tokoh-tokoh yang dapat dijadikannya idola. Mungkin karena pada dasarnya jiwa manusia demikian rapuh sehingga ia memerlukan tokoh lain yang memiliki kemampuan lebih daripada kemampuannya sendiri untuk dapat menyegarkan jiwanya yang gersang. Untuk menutupi ketidakmampuannya dalam mencapai mimpinya hingga akhirnya ia menujukan perhatiannya pada orang lain yang dianggapnya telah berhasil mereprentasikan apa yang sebenarnya ingin dicapainya? Atau mungkin sebagai pelampiasan dari perasaan dirinya yang tidak berharga? Kalau begitu betapa menyedihkannya jiwa manusia itu.

Ah, mengapa pula kuributkan masalah kejiwaan manusia. Aku tak memiliki kapasitas untuk mengemukakan segala pendapatku mengenai kejiwaan manusia karena seringkali aku tak dapat mengerti jiwaku sendiri! Aku hanya ingin mengungkapkan kekagumanku pada pribadi seorang manusia yang dapat mengerahkan segenap potensinya melebihi yang dapat dilakukan oleh orang-orang pada umumnya. Dan pribadi itu adalah dirimu.

Kini bintangmu sepertinya mulai redup seperti bintang-bintang di atas langit sana yang disebut sebagai bintang mati. Ya, semua juga sadar bahwa usia manusia sebenarnya sangatlah singkat. Dulu, saat kau muda, kau memang merupakan bintang yang bersinar paling terang (dan bagiku kau tetaplah bintang yang bersinar paling terang), namun seiring waktu, muncul juga bintang-bintang baru yang bersinar seterang bintang-bintang muda yang kini beranjak tua.

Saat ini, menatap bintang yang berada jauh di atas langit seperti ini, aku jadi teringat akan dirimu. Sebentar lagi, aku tak lagi dapat melihat semangat dan passion yang kau tunjukkan. Aku tak lagi dapat melihat senyum dan lompatanmu yang penuh energi dan pesona seolah ingin menembus langit dan menggapai bintang-bintang yang sesungguhnya, yang berada jauh di atas langit sana.

Selama ini senyuman dan semangatmu itulah yang membuatku merasa yakin dalam menapaki hidupku. Bahkan kadang saat aku merasa hidup yang kujalani ini terlalu berat, aku kembali dapat menemukan keyakinan diri bila teringat segala pencapaian-pencapaianmu yang telah kau tunjukkan pada dunia.

Memang dunia tidak akan pernah kehabisan bintang-bintang yang akan selalu bersinar. Setelah kau pergipun, dunia mungkin akan segera menemukan bintang lain yang seterang cahayamu dulu. Namun, dunia tidak akan pernah melupakan bahwa dulu pernah ada bintang yang bersinar sangat terang dan paling terang di antara bintang-bintang lain.

Ah, bila mengingatmu yang akan tergantikan oleh bintang lain seperti ini, membuatku merasa sedih karena betapa sebenarnya manusia itu adalah makhluk yang paling menyedihkan. Kita hidup untuk kemudian mati. Kita datang untuk kemudian pergi dan digantikan oleh yang baru datang. Betapa membosankan hari-hari manusia dengan segenap rutinitasnya yang benar-benar menjenuhkan itu.

Kutatap langit dan melihat setitik sinar bintang yang bercahaya terang. Aku jadi tersenyum miris, iba pada bintang itu, karena pada saatnya nanti akan ada bintang lain yang menggantikan sinarnya. Tapi layakkah rasa ibaku ini? Bukankah hidup memang seperti itu?

Kutatap langit dan kembali kulihat senyum dan semangatmu yang begitu membara tergambar di langit yang mulai terang oleh rembang pagi menghangati jiwaku hingga kembali membuatku tersenyum. Bintang tua yang mulai meredup cahayanya perlahan menghilang untuk kemudian benar-benar tak terlihat. Jauh di ufuk timur kulihat semburat cahaya terang menerangi langit. Kurentangkan tanganku dan menghirup udara dini hari. Kututupi kuapku dengan tanganku. Ah, mengapa pula kantuk baru datang sekarang, saat pagi mulai datang, saat aku sudah harus bersiap-siap memulai aktifitas di hari yang baru? Ah, persetan dengan semuanya! Aku ingin kembali melanjutkan tidurku. Siapa tahu, aku kembali dapat menjumpaimu dalam mimpi dan bila kau datang dalam mimpiku, aku tak ingin terbangun dengan segera, karena aku tak tahu, kapan lagi aku dapat melihat bintang yang bersinar sangat terang seperti dirimu.

Aku beranjak dari dudukku dan masuk ke dalam rumah menuju kamarku, bersiap kembali tidur.

Buat: MS

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Belum ada postingan baru?