Total Tayangan Halaman

Translate

Rabu, 05 Mei 2010

Indira Gandhi = The Dynasty of Fate

pic taken from here

Rasanya hampir semua orang yang suka membaca mengenai tokoh politik pasti tahu atau setidaknya pernah mendengar tentang keluarga politikus India ini. Adalah Indira Gandhi, wanita bertangan besi yang pernah dua kali meraih kursi Perdana Menteri India yang memulai Dinasti Gandhi dalam percaturan politik India ini. 

Indira Gandhi yang lahir di Allahabad pada 19 November 1917 ini sebenarnya merupakan anak satu-satunya Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri India yang pertama. Nama Gandhi di belakang nama Indira didapatnya dari suaminya, Feroze Gandhi. Namun suami Indira ini tak ada hubungan keluarga dengan tokoh perjuangan India yang terkenal, Mahatma Gandhi. Indira kemudian menggunakan nama Gandhi di belakang namanya adalah karena alasan politis juga, mengingat nama Gandhi bukan hanya terkenal di negaranya saja tapi juga sudah meluas hingga ke dunia internasional meski sebenarnya nama ayah Indira, Jawaharlal Nehru juga bukanlah nama yang bisa dipandang sebelah mata dalam peta politik India dan dunia.

Sebagai anak semata wayang Jawaharlal Nehru, Indira sering diajak ayahnya menghadiri acara-acara politik sehingga memunculkan sedikit demi sedikit kecintaan Indira pada dunia politik terlebih Indira sepertinya mewarisi bakat politik ayahnya. Indira meski seorang wanita tapi kepiawaiannya dalam menghadapi lawan-lawan politiknya tak bisa dipandang sebelah mata sehingga Indira dinilai sebagai seorang pemikir dan ahli strategi politik yang brilian.

Ketika ayahnya meninggal pada 1964, Indira sebagai anak satu-satunya Jawaharlal Nehru pun didesak untuk menjalani karir di dunia politik mengikuti jejak ayahnya. Karir politik Indira pun melesat kencang bak meteor. Ia langsung terpilih sebagai anggota di partai ayahnya, Partai Kongres Nasional India dan ditunjuk sebagai salah satu menteri dalam kabinet Perdana Menteri Lal Bahadur Shastri. 

Ketika Shastri wafat pada 1966, Indira pun dengan mudahnya berhasil menggantikan posisi Shastri sebagai pemimpin partai untuk menuju kursi Perdana Menteri yang kemudian berhasil diraih Indira.
Sebagai anak dari Perdana Menteri pertama India, tentu saja Indira merupakan aset penting untuk menarik massa tapi sebagai wanita, tentu saja ia tak diharapkan bisa berbicara lebih banyak dalam dunia politik yang umumnya dikuasai oleh kaum laki-laki. Karena itulah, pada awalnya, ketika Indira ditempatkan di posisi tertinggi dalam pemerintahan India itu, Indira diharapkan hanya menjadi pemimpin yang pasif layaknya sebuah boneka. Tapi ternyata Indira tak sudi hanya menjadi boneka saja. Indira dengan kapasitas dan bakat politik yang diwarisinya dari ayahnya memang mestinya bisa berbicara lebih banyak demi kemajuan bangsanya dan tak rela hanya menjadi pemimpin boneka saja. Meski ia seorang wanita, Indira berniat memperlihatkan bahwa seorang pemimpin wanita sekalipun mampu memperlihatkan kemampuan politik yang tak kalah cemerlang dari para politikus pria. Dan tak semestinya seorang wanita hanya dijadikan sebagai "boneka" penghias saja.

Nyatanya perjalanan politik Indira memperlihatkan bahwa sebagai seorang wanita, Indira telah menjalankan perannya sebagai pemimpin yang bisa membuat gentar lawan-lawan politiknya. Indira bahkan berhasil mengkonsolidasi kekuatan politiknya dengan menggunakan berbagai instrumen kekuasaan yang dimilikinya sebagai seorang perdana menteri.

Sebagai seorang wanita, Indira dalam menjalankan pemerintahannya tak pernah memperlihatkan kelemahan yang kerap kali diidentikkan kepada kaum Hawa. Indira seolah ingin memperlihatkan bahwa seorang wanita seharusnya memiliki peran yang sejajar dengan kaum pria dalam berbagai aspek kehidupan termasuk dalam dunia politik yang telah lama didominasi oleh kaum Adam itu. 

Di bawah kepemimpinannya, Indira tak memperlihatkan sikap lembek yang bisa menjadi alat bagi lawan poltiknya untuk menjatuhkannya. Karenanya dalam menghadapi kaum separatis yang hendak memisahkan diri dari India, Indira tak segan-segan mengambil tindakan tegas meski akhirnya tindakannya itu berujung pada maut. 

Ketika menghadapi serangan dari lawan-lawan politiknya pun Indira menjalankan aksi politiknya secara keras seperti ketika ia diserang oleh lawan-lawannya karena ia dianggap melakukan kecurangan saat pemilu 1971. Indira hampir saja tersingkir karena kasus kecurangan ini, tapi Indira langsung mengambil manuver politik yang meski sarat kontroversi tapi berhasil menyelamatkan kedudukannya. Tindakan Indira ini memang berhasil menghancurkan kekuatan politik para lawannya tapi sayangnya, aksinya itu harus juga mengorbankan kebebasan sipil. Politik memang tak bisa dinilai hanya dengan satu sisi saja. Memang langkah Indira ini bisa sangat menyudutkannya tapi semua itu sepertinya memang harus ditempuh oleh Indira untuk menghadapi lawan-lawan politiknya meski sikap yang diambil Indira harus menciderai hak rakyat sipil. Tapi itulah politik. 

Dengan menyatakan negara dalam keadaan darurat, maka Indira memiliki kekuatan politik terlebih setelah ia membuat lawan-lawan politiknya dipenjarakan dan menghentikan operasi koran-koran yang didukung oleh pihak oposisi dalam pemerintahannya. Indira juga membubarkan lembaga legislatif yang dikontrol oleh pihak oposisi untuk jangka waktu yang tak terbatas dan mendesak parlemen untuk mengamandemen perundang-undangan yang kesemuanya menciptakan perdebatan keras atas keputusan politik yang diambil Indira ini.

Namun sebagai manusia biasa yang tak lepas dari kesalahan, begitu pula dengan Indira yang salah menginterpretasikan kepopulerannya. Indira yang sangat percaya diri saat menghadapi pemilu 1977 ternyata harus menelan pil pahit saat kalah dalam pemilu tersebut. Namun kali ini, di luar dugaan semua pihak, Indira ternyata bersedia untuk mundur tanpa banyak keberatan. Mengalah untuk menang, begitu sepertinya langkah politik yang diambil Indira saat itu. Indira memilih untuk mematuhi hasil pemilu. Namun saat terdepak dari kursi kepemimpinan itu, Indira kembali menggalang kekuatan politik bagi dirinya sendiri yang akhirnya dengan kekuatan politik yang digalangnya itu, ia berhasil kembali meraih kursi Perdana Menteri kembali pada 1980. Tapi masa kepempinannya yang kedua tak berlangsung lama karena ia tewas dibunuh pada 1984 oleh pengawalnya yang ternyata merupakan kelompok Sikh, kelompok separatis yang diperangi oleh Indira karena ingin menjadikan Punjab merdeka.

Aksi pembunuhan yang dilakukan oleh dua pengawal Indira itu bermula ketika pemimpin kelompok Sikh, Jarnail Singh Bhindranwale memproklamirkan kemerdekaan Sikh. Indira khawatir pergerakan Sikh akan mendapat dukungan dari Pakistan sehingga ia pun mengambil keputusan tegas untuk menumpas kelompok separatis Sikh sebelum makin menggerogoti pemerintahannya. 

Maka pada Juni 1984, Indira pun memerintahkan sebuah operasi penyerangan terhadap kuil suci umat Hindu Sikh karena diduga di tempat itu, Jarnail Singh dan para milisi pendukungnya menyembunyikan senjata mereka. Bentrokan antara militer dan kelompok Sikh pun tak bisa dihindari sehingga akhirnya pertempuran di kuil suci itu pun terjadi dan menyebabkan 83 tentara dan 493 anggota kelompok Sikh tewas. Operasi tersebut dikenal dengan nama Operation Blue Star.

Serangan yang dilancarkan Indira itu ternyata menimbulkan akibat yang fatal bagi Indira. Dua orang penjaga Indira yang ternyata merupakan orang Sikh melakukan pembalasan dendam atas operasi militer yang dilakukan Indira tersebut. 

Pada 31 Oktober 1984, Indira tewas ditembak oleh dua orang Sikh, penjaganya itu. Salah seorang dari penyerang Indira juga tewas setelah terkena tembakan dari penjaga Indira yang lain sementara satu orang lainnya menemui ajalnya di tiang gantungan pada 1988. Indira sendiri langsung dilarikan ke All India Institute for Medical Sciences (AIIMS) di New Delhi, tapi sayangnya tak lama setelah ia tiba di rumah sakit itu, Indira menghembuskan nafas terakhirnya.

Kematian Indira yang disebabkan oleh dua orang Sikh penjaganya itu pun menimbulkan reaksi kemarahan rakyat India terhadap orang Sikh. Gelombang massa anti Sikh di New Delhi pun meluas dan mengakibatkan hampir 2000 orang Sikh yang tak berdosa tewas terbunuh oleh gelombang kerusuhan anti Sikh itu.

Meskipun sepak terjang Indira yang keras terhadap lawan-lawan politiknya menimbulkan musuh dalam selimut terhadap dirinya dan beberapa keputusannya terutama ketika ia menetapkan negara dalam keadaan darurat untuk menghindari pemecatannya dari kursi Perdana Menteri dinilai sarat kontroversi dan bisa mencoreng karir politiknya namun Indira memiliki basis pendukung yang kuat dan nama Indira sangat populer terutama di kalangan anak muda dan kelompok masyarakat miskin. Tak heran meski kebijakan Indira itu sangat kontorversif namun nama Indira tetap menjadi magnit bagi kebanyakan rakyat India untuk memberikan dukungan mereka kepada keluarga Gandhi yang menjadi penerus Indira.
Langkah politik Indira kemudian dilanjutkan oleh dua orang putranya, Sanjay dan Rajiv. Namun sayangnya, Sanjay Gandhi, putra kedua Indira tewas dalam kecelakaan pesawat pada 23 Juni 1980. Sementara Rajiv yang semula tak berminat menceburkan dirinya ke dalam dunia politik, namun setelah kematian adiknya membuat Rajiv harus melanjutkan dinasti politik Gandhi yang telah dirintis oleh Nehru, kakeknya dan melanjutkan perjalanan politik ibunya setelah sang bunda tewas terbunuh. Tragisnya Rajiv memiliki garis hidup yang hampir serupa dengan ibunya. Ia berhasil meraih kursi perdana menteri pada 1984, tahun yang sama ketika ibunya tewas terbunuh. Dan akhir hidup Rajiv ternyata harus pula mengikuti garis hidup ibunya. Pada Mei 1991, Rajiv Gandhi tewas dibunuh oleh kelompok separatis Tamil dari Srilanka.



1 komentar:

alice in wonderland mengatakan...

wah jadi perdana menteri India taruhannya nyawa ya... kok semua matinya tragis. jadi mengingatkan ama keluarga JFK semuanya juga mati tragis.