Total Tayangan Halaman

Translate

Selasa, 14 April 2009

Aku di Rimba Bahasa yang Tak Baku




Sebenarnya, aku ingin menulis tentang Jenson dan tunggangan putih dengan kilasan kuning highlight-nya (bukan hijau muda seperti tulisanku sebelumnya) yang sangat memukau setelah tampil dominan di dua seri balap awal bahkan terlihat luar biasa di tengah hujan deras yang mengguyur Sepang dua minggu lalu. Tapi akhirnya aku memilih menulis sesuatu yang mengganjal pikiranku belakangan ini.

Kebiasaanku menggunakan aku sebagai kata ganti orang pertama dalam tulisanku pernah mendapat kritik dari sahabatku (yang memang jago dalam pelajaran bahasa Indonesia saat kami masih sama-sama duduk di bangku sekolah menengah dulu). Tak kupungkiri, aku memang kerap menggunakan aku sebagai kata ganti orang pertama dalam setiap tulisanku. Menurut sahabatku penggunaan aku dalam tulisanku dengan tata bahasa yang amburadul (alias tak baku) membuatnya tak enak dibaca dan ia menganjurkanku untuk mengganti kata aku dengan kata ganti orang pertama yang lain yaitu saya.

Hmm, analisa yang masuk akal dalam teori tata bahasa Indonesia yang baik dan benar tapi masalahnya aku lebih suka menggunakan kata aku daripada saya. Aku berkeras. Tapi aku memiliki alasannya.

Bagiku, saya terkesan terlalu formal dan terdapat jarak. Bukankah saya lebih umum digunakan saat berbicara dengan orang asing, orang yang lebih tua atau bahkan pada atasan kita di kantor. Rasanya aneh bila kita menggunakan aku saat berbicara dengan atasan dan kita pastinya lebih memilih menggunakan kata saya saat berbicara dengan pimpinan kita, bukan? Karenanya menurutku, kata saya terkesan lebih berjarak dan formal.

Memang, tata bahasa yang kugunakan tak sebaku dalam bahasa Indonesia karena aku ingin tulisanku lebih fleksibel dan dinamis tak monoton membosankan seperti dalam bahasa Indonesia (yang kusuka dari pelajaran bahasa Indonesia hanya puisi bahkan meski aku suka menulis pun pelajaran mengarang sangat membosankan bagiku karena tema yang ditetapkan dalam buku pelajaran bahasa Indonesia sangat membosankan, bayangkan saja tema yang biasa disodorkan mengenai liburan ke rumah kakek dan nenek di desa padahal sumpah mati ke kebun teh saja aku tak pernah apalagi melihat sawah dengan bentangan padi menguning di tengah hutan beton Jakarta ini?)

Sahabatku pun mengemukakan kembali alasan keberatannya mengenai penggunaan kata aku dalam tulisanku. Katanya, aku itu seperti sebuah fiksi padahal tulisanku bukan fiksi (waktu itu aku menulis tentang Jenson Button dan memang sahabatku yang sudah seperti editor pribadiku telah membantuku mengganti semua kata aku dalam tulisanku itu dengan saya).

Pendapat sahabatku itu membuatku berpikir. Bukankah hidup itu sendiri sebenarnya sebuah karya fiksi? Hidup bagiku seperti sebuah perjalanan hidup yang daripadanya si pelaku maupun orang lain dapat bercermin layaknya sebuah buku fiksi maupun film drama yang mengetengahkan perjalanan hidup seorang manusia. Terkadang aku merasa hidup ini tak benar-benar nyata seolah aku tengah bermimpi tapi ternyata aku berjejak pada realita.

Kadang hidup terasa melelahkan meski sesekali saat euforia menyelimuti aku merasa bersemangat (biasanya ketika pembalap andalanku Michael Schumacher memenangi balapan aku merasa sangat bersemangat menjalani hidup bahkan rekan kerjaku yang kadang menyebalkan terasa menyenangkan dan setelah Schumi pensiun, Jenson Button yang bintangnya sempat meredup dan membuatku frustasi akhirnya memancarkan sinarnya menggantikan kehilanganku akan Schumi, sahabatku bilang aku drama queen tapi aku merasa sepertinya aku memang terlalu sentimentil melankolis).

Namun tidakkah semua kesedihan dan kesenangan dalam hidup kadang terasa ilusif layaknya sebuah karya fiksi? Dan bukankah pula sejak dulu para penyair, pujangga maupun seniman mencoba menggali misteri hidup sebagai maha karyanya?

Sebuah tulisan bagiku layaknya cermin bagi penulisnya maupun pembacanya. Si penulis mencoba menggali apa yang ada dalam dirinya, benaknya, bahkan mungkin menuangkan mimpinya dalam tulisannya. Tapi sebenarnya si penulis tengah berkaca pada hidupnya, pada jejak-jejak langkahnya. Dan pembacanya diharapkan dapat memahami apa yang ingin disampaikan si penulis itu mungkin dengan perspektif yang berbeda dengan yang ingin disampaikan penulisnya tapi intinya lewat tulisan, terjalin sebuah ikatan antara penulis dan pembacanya. Sebuah benang tipis yang tak nyata. Karenanya si penulis ingin menggunakan bahasa yang diharapkan dapat mendekatkannya dengan pembacanya.

Ah, aku memang tak memiliki kapasitas dalam membicarakan mengenai tata bahasa yang baik dan benar (pada setiap tulisanku saja aku membutuhkan sahabatku yang telah dengan setulusnya menjadi editor tak resmiku dan kerap menjadi pembaca pertama sekaligus komentatorku yang memacuku untuk menampilkan yang terbaik yang bisa kuberikan sebagai kenang-kenangan atas hidup yang singkat ini…)

Intinya, aku hanya ingin menulis secara jujur. Aku ingin menulis apa yang kurasakan. Aku hanya ingin menampilkan sebuah pribadi yang tak berjarak.
Memang penggunaan tata bahasa yang buruk mungkin bisa membuat cermin itu buram sehingga tak dapat melihat jelas apa yang terdapat di balik cermin itu dan apa yang tersiratpun terasa kabur.

Namun sesungguhnya aku lebih suka menggunakan kata aku karena aku lebih mendekati sebuah pribadi. Tanpa jarak. Dan aku adalah sebuah fiksi yang masih terus menjalani kisahnya ….


Tidak ada komentar: