Total Tayangan Halaman

Translate

Sabtu, 05 Juni 2010

Menulis Review F1...?

Beberapa minggu yang lalu, sebelum GP Turki dimulai, sahabatku bertanya apakah aku masih suka menulis review F1, kujawab bahwa di dua GP terakhir aku tidak menulis reviewnya yaitu di GP Spanyol dan Monaco. Dia pun kembali bertanya, mengapa aku tidak menulis review F1 lagi. Setengah asal, entah berasal dari hatiku atau hanya sekadar alasan, kukatakan bahwa aku mulai malas menulis review karena dua pebalap andalanku, Jenson Button dan Michael Schumacher tidak berhasil meraih hasil optimal.

Di GP Spanyol, Michael memang bisa dibilang tampil sangat baik karena untuk pertama kalinya di musim ini ia berhasil mengalahkan rekan setimnya baik di sesi kualifikasi maupun race. Dan walaupun aku sebenarnya amat terhibur dengan balapan hari itu tetap saja aku merasa tak menentu karena Michael justru harus bertempur wheel to wheel dengan  Jenson. Aku bahkan sempat terbahak-bahak ketika Michael berhasil menyalip Jenson dan juara dunia 2009 itu kesulitan menyalip Michael untuk mengambil kembali posisinya yang "dicuri" Michael namun semua upanya selalu gagal walau sebenarnya McLaren-Mercedes-nya jauh lebih kencang dan komplit daripada Mercedes-nya Michael.

Di GP Monaco, belum apa-apa aku sudah bad mood, ketika McLaren-nya Jenson meleduk tak lama setelah rombongan Webber, sang pole sitter, diikuti Vettel dan Kubica melibas garis start/finish yang menandakan mereka telah memasuki lap ketiga. Bad mood-ku makin jadi ketika Michael terkena penalti karena menyalip Alonso sesaat sebelum garis finish saat Safety Car dianggap masih berada di trek, walaupun sebenarnya SC telah kembali ke pit sesaat sebelum race berakhir demi memberikan kehormatan bagi Webber agar pebalap RBR asal Australia itu yang menerima kibaran pertama chequered flag, tapi karena regulasi yang baru maka tindakan Michael itu dianggap ilegal sehingga ia pun harus menerima nasib kehilangan 8 poin.

Entah karena kebiasaan,  tanganku tetap saja mencoret-coret kertas, mencatat kejadian-kejadian menarik sepanjang balapan seperti ketika Rubens Barrichello jalan berdampingan dengan Kobayashi sambil menenteng helm mereka menyusuri pit lane menuju garasi mereka masing-masing. Atau ketika di GP Spanyol, Hamilton mengalami nasib apes ketika ban depan kirinya meletus tepat di final lap sehingga podium keduanya direbut oleh Alonso yang seperti tertimpa durian runtuh.

Meski setiap melihat coretanku aku tergelitik untuk menulis review tapi kok rasanya malas terus saja menggayutiku karena kedua jagoanku harus kandas dengan cara yang amat menyakitkan. Biasanya bila aku menjawab seperti ini, temanku itu sambil setengah meledek akan mempertanyakan seberapa besar aku menyukai F1, masa hanya karena dua jagoanku tak berhasil meraih podium lantas jadi kehilangan semangat tapi kali itu ia tak bicara banyak atau mengajakku berdebat, mungkin karena ia sendiri telah kehilangan roh F1 setelah jagoannya terbang dari F1 dan membuat temanku memasuki masa pertapaannya dari menonton ataupun mengikuti perkembangan F1 (kecuali aku mengusiknya dengan memintanya mencari tahu beberapa hal tentang F1 musim ini).

Tanganku sendiri sebenarnya sudah gatal ingin menulis review F1 hanya saja hatiku masih tetap tertidur sehingga kubiarkan saja catatan-catatanku dari dua balapan itu tergeletak begitu saja. Hingga akhirnya di GP Turki, aku kembali mendapatkan semangatku untuk menulis review walau hasil GP Turki sendiri tak terlalu memuaskan karena Jenson gagal menyalip rekan setimnya untuk meraih kemenangan hanya karena bahan bakarnya kritis sehingga ia harus mengendurkan perlawanannya terhadap rekan setimnya. Dan aku juga gagal melepas kerinduan melihat Schumi tampil di podium setelah ia sempat memiliki peluang untuk meraih podium ketiga ketika Webber harus masuk pit keduanya untuk mengganti sayapnya yang patah akibat usaha kudeta rekan setimnya yang gagal. Padahal ketika duo mobil Red Bull melintir di gravel, aku sudah berjingkrak-jingkrak sambil menyanyi-nyanyi sehingga membuat ibuku menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kesintinganku yang selalu kumat setiap kali menonton F1. Kupikir saat itu akhirnya aku bisa kemblai melihat Michael Schumacher berada di atas podium meski bukan di podium utama, tapi sayangnya Mercedes-nya Michael masih tercecer jauh sehingga Webber berhasil kembali rejoin setelah pit di posisi ketiga.

Sebenarnya aku sendiri lebih berharap aku bisa selalu menulis review F1 apapun hasilnya terhadap Jenson dan Michael tapi masalahnya aku selalu menulis berdasarkan apa yang kurasakan. Jadi aku selalu merasa berat untuk menulis bila hasilnya tak terlalu menggembirakan untuk kedua andalanku itu. (He...he... terlihat banget ya, usahaku untuk mencari pembenaran atas kemalasanku ini....)

Ya, sebenarnya dalam hati aku ingin sekali menulis review F1 seobyektif mungkin dengan kata lain apapun yang terjadi dengan dua jagoanku, aku bisa tetap menulis review F1 seprti layaknya seorang pecinta F1 lainnya yang tetap setia menulis review F1 untuk menggambarkan kejadian saat balapan. Tapi menurutku untuk menulis review F1 secara lengkap dan menyeluruh rasanya sudah banyak yang menggambarkan jalannya balapan lebih baik dari tulisanku lengkap dengan analisa yang akurat dan perhitungan matematika yang sangat matang. Masalahnya nilai matematika ataupun fisikaku waktu sekolah selalu jeblok jadi rasanya terlalu aneh bila aku mau sok-sok an seolah aku adalah analis profesional yang piawai dalam mengolah data telemetri. Lha, sampai sekarang saja aku selalu bingung bila melihat grafik data telemetri pebalap, yang penting bagiku sih, pebalap jagoanku selalu berhasil meraih juara aja deh.... Itu sudah cukup dan tak perlu aku menyiksa otakku yang pas-pasan ini untuk belagak mengerti cara membaca data telemetri pebalap

Karena F1 bagiku adalah kecintaanku pada Michael dan Jenson jadi aku selalu berusaha setia pada hatiku untuk menuliskan perasaanku terhadap dua jagoanku itu. Bagiku menulis review F1 bukan hanya sekadar menggambarkan jalannya balapan tapi juga menceritakan apa yang sungguh-sungguh kurasakan terhadap balapan itu sendiri dan aku tak ingin menulis hanya sekadar menulis tanpa jiwa. Dan bagiku sendiri jiwa F1 itu saat ini ada pada Michael Schumacher dan Jenson Button (lebay banget deh.... ) meskipun aku sebenarnya juga menyukai beberapa pebalap lain seperti Vettel dan Hulkenberg tapi andalan utamaku tetap saja Michael dan Jenson. Jadi kupikir seandainya pun malas tengah menggayutiku tapi bila tiba-tiba Michael mendapat mujizat meraih kemenangan, kurasa aku pasti akan bisa mengenyahkan kemalasanku dan segera membiarkan tanganku menari-nari di atas keyboard komputer, menuliskan semua kegembiraan di dalam hatiku karena berhasil melihat Michael kembali melompat di atas podium tertinggi .

Tidak ada komentar: