Total Tayangan Halaman

Translate

Rabu, 10 Juni 2009

Gema Sebuah Hati





Wonderful race! Amazing! Briliant! Entah apa lagi kalimat yang bisa kuungkapkan mengenai kemenangan Button di Turki yang kembali memperlihatkan dominasi Button di Formula one musim ini. Aneh juga rasanya saat mendengar bahwa dominasi Button memberikan pengaruh buruk pada formula one karena mungkin ketangguhan Button bersama Brawn GP tahun ini ditakutkan akan seperti masa kejayaan Schumi dan Ferrari (yang kebetulan dua tokoh kunci yang turut mengantar kesuksesan Michael di Ferrari kini membela Brawn GP yaitu Ross Brawn dan Rubens Barrichelo). Aneh bagiku karena justru dominasi Button dan Brawn GP yang merupakan tim privateer, debutan pula seharusnya memacu tim lain untuk berkarya jauh lebih baik lagi. Aneh yang kedua, aku heran saja dulu ketika tahun 2005 Fernando Alonso merajai jet darat formula one ini kenapa tak ada komentar sinis seperti ini apa mungkin dominasi Fernando malah dianggap sebagai penyelamat formula one yang bertahun-tahun lamanya dikuasai Ferrari dan Michael Schumacher atau Fernando dianggap representasi tokoh David yang mengalahkan Michael "Goliath" Schumacher?

Sebenarnya aku sudah menyiapkan tulisan untuk kuposting sejak dua minggu lalu tapi ketika siap diposting komputer yang kugunakan terus menerus hang, entah aku terlalu gaptek atau sedang apes saja. Bukan bermaksud mengeluh karena aku tak tahu kalau ternyata mungkin selama ini keluhanku membuat orang lain keberatan tapi aku memang suka sekali mengungkapkan apa yang kurasakan. Saat panik, aku pasti akan panik, saat be te, maka seluruh hati jiwa ragaku sepertinya akan mengungkapkan perasaanku itu. Bahkan tak jarang teman-teman di kantorku kadang pusing mendengar ocehanku bila bawelku tengah kumat (bahkan pernah seorang temanku berjanji akan mentraktir orang sekantor bila aku bisa diam selama setengah hari saja dan ketika aku menjawab tantangannya dengan menahan mulutku selama setengah hari -meski mulutku sampai terasa pegal karena tak digerakkan- kami sekantor langsung menagih janji, temanku pun terpaksa mentraktir pizza dan sejak itu ia tak lagi berani menantangku berkenaan dengan mulutku, he he he...).

Namun beberapa hari ini aku mendapat pelajaran penting dalam perjalanan hidupku bahwa sebenarnya betapa rapuhnya hati manusia yang ternyata hanya oleh sepatah kata saja dapat menimbulkan luka yang dalam di hatinya. Di sisi lain sepatah kata bisa membangkitkan semangat seseorang namun di lain pihak bila salah diucapkan maka sepatah kata itu tak ubahnya sebilah pisau tajam yang mampu menembus ruang terdalam paling peka yang dimiliki manusia ini.

Dulu, ketika direkrut David Richards ke B.A.R-Honda, ia mensugesti Jenson Button dengan kalimat bahwa ia bisa sehebat Schumacher bahkan ia jauh lebih baik dari Schumacher dan sepertinya sugesti ini menjelma di tahun 2004 lewat penampilan JB yang memang luar biasa dan sempat menjadi penantang berat Schumi. Mungkin saking kepedean, maka kasus Buttongate I dan II terjadi. Tapi Jenson Button tak pernah berhenti belajar.

Jenson tahu betapa pentingnya mengolah kata. Ia sama seperti Michael Schumacher memiliki kemampuan sebagai leader team. Sebagai seorang pembalap Inggris di tim Inggris tentu saja Jenson memiliki keuntungan. Seluruh teknisi tentu saja sangat ingin melihat pembalap negeri mereka tampil gemilang tapi meski begitu sikap Jenson dalam berhubungan dengan teknisi jauh lebih penting daripada kewarganegaraannya, kurasa. Meskipun ia seorang Inggris seperti para teknisi di tim Inggrisnya tapi jika sikapnya menyebalkan kuyakin para teknisi akan lebih suka berurusan dengan rekan setimnya meski berbeda bangsa.

Kata-kata (menurut pendapatku) adalah merupakan gema dari hati seseorang. Kata-kata yang munafik dan penuh kepalsuan tentunya merupakan pantulan dari hati yang juga penuh kepura-puraan dan kata-kata penuh ketulusan sejatinya berasal dari hati yang juga memancarkan ketulusan. Dan kurasa karena kata-kata merupakan gema dari sebuah hati itulah sebabnya sepatah kata memiliki kemampuan luar biasa bagi siapa kata-kata itu ditujukan.

Seperti sebuah obat yang dapat menyembuhkan tapi bila salah digunakan dapat menjadi racun begitu pula dengan kata-kata yang terucap. Kata-kata yang menyakitkan tentu saja akan menimbulkan luka bagi yang menerima kata-kata tersebut tapi sebaliknya kata-kata yang penuh semangat dan motivasi tentu akan membangkitkan pula semangat orang yang mendengarnya. Dan para motivator adalah orang yang paling paham dengan kekuatan kata tersebut. Maaf, aku tak bermaksud mengatakan bahwa para motivator adalah orang-orang yang jago omong karena ada banyak profesi yang memperlihatkan kemampuan bicara seseorang seperti pengacara atau tukang obat.

Maksudku para motivator sangat memahami kekuatan di balik kata-kata yang dapat membangkitkan atau memotivasi seseorang untuk menjadi lebih baik. Konon, kemenangan tim Indonesia berhasil meraih piala Thomas (yang entah sudah berapa lama lepas dari bumi pertiwi kita ini) lewat aksi heroik Hendrawan sebagai penentu kemenangan tim merah putih sedikit banyak termotivasi oleh semangat yang dipompakan oleh salah satu motivator tanah air, Andrie Wongso (benar gak ya, tulisannya?).

Hellen Keller, penderita tiga cacat juga mengalami kekuatan sepatah kata yang menjadi kunci bagi ingatannya. Ketika ia merasakan air yang dipompakan gurunya, Annie Sulivan, ke atas tangannya, segera ingatan Hellen terhadap setiap kata terbuka. Bahkan Annie Sullivan dalam keputusasaannya ketika Hellen masih diliputi kegelapan, saat hatinya masih tertidur dan tak sepatah katapun menembus hatinya yang dapat melepas semua ingatannya akan kata-kata yang pernah diketahuinya sebelum ia hidup dalam kegelapan.

Annie Sullivan berkata bahwa kata-kata adalah kunci untuk mengenal dunia. Lewat huruf-huruf yang terangkai dalam kata, kita bisa mengenal berbagai negara meski kita tak pernah menginjakkan kaki kita di sana. Dan setelah Hellen merasakan dinginnya air mengalir ke jari-jarinya yang terbuka, ia merasa seolah dirinya dialiri listrik, tubuhnya menggigil, kata water (air) merasuk hingga ke hatinya yang kemudian merupakan kunci untuk membuka hatinya yang tertutup selama ini. Setelah itu kata-kata lain pun mulai mengalir dari kenangan Hellen yang tertutup selama ini. Sejarah kemudian mencatat bagaimana seorang penderita tiga cacat seperti Hellen bisa kuliah di tempat yang sama dengan orang-orang yang normal atau memiliki anggota tubuh secara lengkap.

Lewat kata-kata pula maka Neil Amstrong berhasil menjadi manusia pertama yang menjejakkan kakinya di bulan. Meskipun John Fitzgerald Kennedy tewas tertembak di Dallas namun kata-katanya yang menyatakan "Sebelum abad ini (abad 20) berakhir, kita akan mengirimkan manusia ke bulan." Kata-katanya itu menggema dalam hati mereka yang mendengar yang kemudian mewujudkan impian yang sebenarnya bukan hanya impian Kennedy semata.

”Hidup dan mati dikuasai oleh lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya,” begitu antara lain kata yang kukutip dari sebuah amsal. Atau mungkin dalam peribahasa yang lebih umum, mulutmu adalah harimaumu. Ya, meski lidah adalah bagian yang mungkin kecil namun seperti sebuah kapal yang dikendalikan oleh kemudi yang kecil begitu pula manusia dikendalikan oleh lidahnya yang kecil dan terletak tersembunyi itu.

Luka fisik mungkin dapat dengan mudah terobati tapi orang bilang luka hati sulit sekali disembuhkan. Dan kerap luka hati disebabkan oleh kata-kata yang diucapkan terlebih oleh orang yang sangat dekat. Ada kalanya kala pertengkaran terjadi kerap kita bahkan tak dapat mengendalikan kata-kata yang terucap dari bibir kita yang mungkin akan menyakiti orang lain. Kita bisa saja menghakimi orang lain menyebalkan tapi tidakkah kita sebaliknya menilik sikap kita sendiri. Bukankah kata itu merupakan gema hati si pengucap? Sebuah pembicaraan merupakan hubungan dua arah. Jika mendapat feed back yang tak menyenangkan tidakkah lawan bicara kita pun jadi bersikap tak simpatik pada kita?

Tuhan memang menciptakan mata kita di bagian depan tubuh kita yang dimaksudkan agar kita melihat lurus kedepan dengan kata lain agar kita tak tenggelam dalam masa lalu tapi itu berarti pula kita tak dapat melihat diri kita sendiri. Lewat orang lain maka kita bisa mengenal diri kita sendiri bukan? Melalu cermin barulah refleksi diri kita terlihat oleh kita. Alangkah naifnya bila kita berpikir kita lebih baik dari orang lain padahal mungkin sikap tak simpatik orang lain disebabkan oleh kita sendiri.

Kembali ke dunia formula one. Karena aku sedang senang-senangnya dengan keberhasilan Jenson Button yang berhasil mendominasi balap jet darat dan membuat namanya yang sejak debutnya di Williams pada tahun 2000 timbul tenggelam dan tahun ini karirnya yang cemerlang membuat semua orang kembali berpaling padanya jadi aku ingin membicarakan mengenai Jenson.

Sebagai seorang anak muda Jenson sangat paham pentingnya dalam mengolah kata. Ia tak pernah lupa berterima kasih pada kru timnya karena memang keberhasilannya bukan mutlak miliknya pribadi tapi juga merupakan kesuksesan timnya. Setelah mengalami masa-masa yang manis dalam debutnya bersama Williams, Jenson seperti anak hilang yang tersesat dalam rimba formula one.

Di Benetton, ia tak memiliki keistimewaan. Ia mengalami kesulitan dalam setingan mobilnya dan ia mulai belajar dari Giancarlo Fisichella, rekan setimnya yang lebih senior dan lebih lama di Benetton dalam hal setingan mobil. Dalam hal relationship Jenson pun mulai belajar banyak. Ia sangat paham bahwa dunia formula one betapa pun kerasnya tetap dunia yang membutuhkan nilai-nilai humanisme. Itulah sebabnya ketika melibas garis finish di GP Malaysia 2002 di mana ia tampil gemilang sempat memimpin di depan Schumi tapi kemudian ia mengalami masalah teknis yang menyebabkannya finish di urutan keempat ia memperlihatkan bahwa ia tak pernah lupa mengenai nilai humanisme yang sangat dibutuhkan setiap insan tak terkecuali orang-orang tangguh yang berkecimpung di dunia formula one.

Saat melintas di garis finish, Jenson lewat radio pitnya mengatakan "Ini untukmu, kawan." Penampilan gemilangnya hari itu dipersembahkan untuk seorang mekanik yang yang saat itu tengah berulang tahun. Nilai-nilai humanisme inilah yang membuat para pembalap formula one tetap terlihat manusiawi meski mereka harus mengalami pertemupuran yang sengit dan berbahaya di atas trek.

Jenson Button tahu sekali apa artinya pujian dan cercaan karena ia telah kenyang menerima ini sepanjang sembilan tahun karirnya di formula one. Kemunculan pertamanya disambut dengan puja puji dan harapan setinggi langit terutama oleh publik Inggris yang ingin sekali melihat pembalap Inggris meraih gelar dunia setelah terakhir kali diraih Damon Hill pada tahun 1996. Tapi kemudian saat masa-masa sulit menerpanya, publik mulai mengabaikannya dan banyak yang mempertanyakan kemampuan dan bakatnya. Who is Jenson? begitu orang kerap berkata sinis mengenai keberadaan Jenson. Lalu ketika karirnya kembali bersinar, orang banyak mulai kembali mengalihkan pandangannya pada The Young Brit ini. Ia kembali menjadi incaran tim-tim papan atas.

Prestasi Jenson memang sangat fluktuatif (seperti nilai tukar rupiah dengan Dollar) tapi untungnya Jenson tak pernah ragu untuk belajar bahkan saat mengalami masa-masa burukpun ia dapat memetik pelajaran dari musim itu. Dan Jenson sepertinya membutuhkan banyak sekali masa-masa sulit untuk belajar yang kemudian membuatnya menjadi pribadi yang lebih kuat dan lebih baik.

Namanya kembali surut seiring kasus hukum masalah kontraknya. Ia bahkan mulai tak menarik minat pers Inggris yang selama ini memujanya sebagai harapan baru Inggris dan pamornya di Inggris, tanah tumpah darahnya itu, kehadirannya tak lagi menarik minat pers Inggris yang lebih memilih memberitakan penampilan gemilang rekan senegaranya, Lewis Hamilton yang mampu menyihir bukan hanya publik Inggris tapi seluruh dunia ketika tahun lalu berhasil meraih gelar dunia pertamanya.

Layaknya roda yang selalu berputar, begitu kiranya hidup Jenson Button. Dan tahun ini nampaknya sang waktu pada akhirnya mulai berpihak pada Jenson Button. Tahun ini ia bersama Brawn GP mampu membelalakkan mata seluruh dunia. Namanya pun kembali diperbincangkan. Publik Inggris kembali mencintainya. Layakkah keberhasilan yang diraih Jenson dengan susah payah ini kemudian dijadikan kambing hitam atas balapan formula one yang dianggap akan tidak menarik lagi ditonton?

Memang tak bisa dipungkiri, keberhasilan Jenson dan Brawn GP merupakan hasil tangan dingin dan kejeniusan Ross Brawn yang selama ini turut mengantar Michael Schumacher merajai dunia balap paling bergengsi di dunia ini. Dan Rubens Barrichello, The Brazilian yang religius dan bersahaja (hal yang sangat jarang di dunia formula one pada masa sekarang) juga memiliki peranan penting dalam tim. Belum hilang dari ingatan rasanya bagaimana Ross Brawn dan Rubens Barrichello merupakan kunci yang turut mengantar seorang Michael Schumacher meraih gelar dunianya selama lima kali berturut-turut (Ross Brawn bahkan juga turut serta dalam keberhasilan Michael meraih dua gelar dunia yang diraihnya bersama Benetton-Renault sebelum akhirnya bergabung bersama Ferrari).

Mungkin benar pepatah yang mengatakang orang sabar di sayang Tuhan. Mungkin kesuksesan Jenson kali ini merupakan kesabarannya kala menghadapi masa-masa sukarnya. Setelah ia sempat dibimbangkan akan langkahnya sehingga ia sampai dua kali terjebak dalam masalah hukum mengenai kontraknya tapi toh akhirnya Jenson tetap menanti dengan sabar di tempatnya hingga akhirnya waktu itu menghampirinya. Dan saat ini adalah waktunya bagi Jenson. Waktunya untuk kembali memperlihatkan kemampuan dan bakatnya yang sekali waktu dulu kerap diragukan orang. Waktunya bagi Jenson meraih kesuksesan setinggi-tingginya seperti yang diimpikannya selama ini.

Learn from the best.

Jenson sungguh-sungguh beruntung karena ia memiliki kesempatan untuk belajar. Kala ia menghadapi musim yang baik ia tak menjadi takabur namun kala musim yang buruk (yang kerap kali) menerpanya ia juga tak putus asa tapi tetap belajar dari musim-musim buruknya itu. Dan yang terutama ia beruntung karena dapat belajar dari yang terbaik. Ross Brawn dan Rubens Barrichello, pembalap handal yang karena kerendahan hatinya tak banyak memetik hasil dari dunia olahraga yang dicintainya ini. Tapi Rubens yang bersahaja ini dengan bijaknya memahami bahwa kesuksesan dalam hidup lebih daripada memenangkan gelar. Kesuksesan dalam hidup adalah keberhasilannya menjadi manusia sejati yang seutuhnya.

Jika sudah begini, rasanya bintang di langit pun jadi tak terlalu jauh untuk dijangkau, bukan begitu, Jens? Semoga saja Jenson tak pernah berhenti untuk belajar dan tak tenggelam dalam puja puji untuknya saat ini.

Tidak ada komentar: