Total Tayangan Halaman

Translate

Sabtu, 03 April 2010

Benazir Bhutto = The Tragic Movie

 pic taken from here

Aku tak ingat sejak kapan aku mulai suka dengan siaran berita, tapi seingatku waktu kecil, ketika channel televisi di Indonesia hanya ada TVRI, lewat siaran dunia dalam berita,  aku suka sekali melihat berita-berita mengenai Benazir Bhutto dan Margareth Thatcher, dua sosok wanita politikus luar biasa saat masa kanak-kanakku. Bedanya, bila Thatcher meski memerlukan perjuangan super keras untuk bisa bertahan dalam dunia patriakh yang digelutinya itu, namun kehidupan politiknya tak setragis dengan apa yang harus dijalani oleh Bhutto yang menurutku hidupnya tak ubahnya seperti sebuah film tragis.

Benazir Bhutto dilahirkan dalam sebuah keluarga politik yang memiliki peranan besar di Pakistan. Dua kali ia berhasil meraih kursi Perdana Menteri Pakistan tapi dua kali pula ia digulingkan dari posisinya tersebut dengan berbagai macam tuduhan korupsi dan pencucian uang yang tak pernah terbukti hingga saat ini.

Politik dan tragedi sepertinya sudah merupakan paket dalam hidup wanita pertama yang berhasil menjadi pemimpin sebuah negara muslim di zaman modern ini. Jauh sebelum Benazir digulingkan dari posisinya sebagai perdana menteri ternyata ayahnya telah lebih dulu mengalaminya bahkan ayahnya mengalami nasib yang sangat tragis. Pemerintah militer Pakistan bukan hanya menggulingkan Zulfikar Ali Bhutto, ayah Benazir dari posisinya sebagai Perdana Menteri tapi ayah Benazir ini pun harus menemui ajalnya di tiang gantungan.

Padahal jika ditilik, keluarga Benazir memiliki peran yang cukup besar bagi Pakistan. Kakeknya dari pihak ayah, Sir Shah Nawaz Bhutto adalah seorang Sindhi dan tokoh penting dalam gerakan kemerdekaan Pakistan. Tapi ternyata hal itu tak cukup untuk membuat jalan Benazir dalam dunia politik menjadi lebih mulus.

Benazir lahir di Karachi, Pakistan pada 21 Juni 1953 sebagai anak sulung Zulfikar Ali Bhutto. Ibu Benazir, Begum Nusrat Bhutto merupakan seorang suku kurdi Iran.

Kemampuan Benazir dalam berorganisasi telah diperlihatkannya sewaktu ia masih sekolah. Pada April 1969 ia diterima di Universitas Harvard. Di sinilah ia pernah terpilih sebagai anggota Phi Beta Kappa. Juni 1973 Benazir lulus dari Harvard dengan gelar dalam ilmu politik. Selepas dari Harvard, Benazir melanjutkan pendidikan magisternya di Oxford pada musim gugur 1973.

Kemampuan Benazir dalam berorganisasi itu sepertinya membuat pemerintah Pakistan bersikap waspada. Terlebih ia sepertinya mewarisi bakat politik ayahnya. Kecemasan pemerintah Pakistan yang juga dipicu karena kematian ayah Benazir usai dilengserkan dari posisinya sebagai perdana menteri  sehingga membuat pihak penguasa khawatir Benazir akan melakukan aksi atas kematian ayahnya tersebut membuat pemerintah militer Pakistan yang berkuasa menempatkan Benazir sebagai tahanan rumah sekembalinya ia ke negaranya usai menamatkan pendidikan universitasnya.

Benazir pun kemudian kembali ke Britania Raya pada 1984 dan di sana ia menjadi pemimpin Partas Rakyat Pakistan (PPP), partai ayahnya tapi ia tak dapat membuat kekuatan politiknya dirasakan di Pakistan. Setelah Jenderal Muhammad Zia-ul-haq wafat, Benazir akhirnya bisa kembali ke negaranya dan meneruskan kegiatan politik ayahnya.

Kekuatan politik Benazir pun bertumbuh makin kuat sehingga dalam pemilu pada 16 November 1988, sebuah pemilu terbuka pertama dalam waktu lebih dari 10 tahun, pada pemilu ini, partai Benazir, PPP berhasil memenangi pemilu dan meraih jumlah kursi terbanyak dalam dewan nasional. Benazir pun diambil sumpah sebagai Perdana Menteri Pakistan yang ke-12 di usianya yang ke-35 tahun dan membuatnya menjadi Perdana Menteri Pakistan termuda sekaligus menjadi wanita pertama yang memimpin negara dengan mayoritas rakyat beragama Islam pasca zaman kolonial.

Namun Benazir tak lama menduduki posisinya sebagai Perdana Menteri. 20 bulan setelah pelantikannya, ia digulingkan oleh Presiden Pakistan saat itu, Ghukan Ishaq Khan yang didukung militer dan secara kontroversial menggunakan amandemen ke-8 untuk membubarkan parlemen dan memaksa diselenggarakan pemilu.

Setelah Benazir dikudeta dan dituduh melakukan korupsi, partai Benazir pun mengalami kekalahan dalam pemilu pada bulan Oktober. Sementara Nawaz Sharif menjadi Perdana Menteri selama 3 tahun berikutnya, Benazir menjadi pemimpin oposisi yang masih sangat disegani oleh lawan-lawan politiknya.

Penggalangan kekuatan Benazir sebagai oposisi memperlihatkan hasilnya pada pemilu yang kembali diselenggarkaan pada Oktober 1993. Dalam pemilu tersebut, partai Benazir, PPP kembali berhasil memenangi pemilu dan mengantarkan Benazir ke kursi Perdana Menteri untuk kedua kalinya. Namun lagi-lagi, Bhutto dilengserkan dari posisinya seperti sebelumnya. 

Pada tahun 1996, pemerintahannya kembali dibubarkan, kali ini oleh Presiden Farooq Leghari yang lagi-lagi menggunakan pertimbangan khusus dalam amandemen ke-8. Bhutto kembali diterpa tuduhan melakukan korupsi tapi semua itu ternyata tak terbukti dan belakangan nama Bhutto pun dibersihkan. Selain itu, Bhutto juga dituduh melakukan pencucian uang negara di bank-bank Swiss dalam sebuah kasus yang masih tetap berada di pengadilan Swiss.

Sementara itu hantaman badai dari lawan-lawan politik Benazir juga menerpa suaminya, Asif Ali Zardari yang harus mendekam dalam penjara selama 8 tahun meski ia tak pernah terbukti bersalah atas semua tuduhan yang dituduhkan padanya. Zardari ditempatkan dalam tahanan tersendiri dan dalam pengakuannya, ia mengatakan bahwa ia mengalami siksaan selama berada dalam penjara. Belakangan bekas Perdana Menteri Pakistan, Nawas Sharif, mengakui keterlibatannya dalam penjegalan terhadap Benazirdan keluarganya itu. Sharif meminta maaf atas keterlibatannya dalam penahanan berkepanjangan terhadap Zardari dan atas kasus-kasus yang diajukan untuk melawan Bhutto.

Zardari sendiri baru dibebaskan pada November 2004 dan dalam sebuah wawancara di TV Pakistan pada 2005, Asif Zardari mengatakan bahwa pihak militer pernah menawarkan akan membebaskannya dan mencabut semua tuduhan terhadap dirinya bila ia setuju untuk meninggalkan politik dan negaranya itu. Tapi tentu saja Zardari menolak tawaran itu.

Selama lebih dari 10 tahun, pasangan suami istri ini, Benazir dan Zardari telah menghadapi sekitar 90 kasus bersama-sama tapi tak satu pun yang terbukti. 8 kasus masih tertunda dan Bhutto sendiri menyatakan bahwa semua kasus yang dituduhkan pada dirinya dan suaminya itu bermuatan politis dan ia siap menghadapi semuanya.

Dalam sebuah berita di harian Inggris, The News pada 25 Juli 2006, terungkap sebuah laporan OJP (Oditur Jenderal Pakistan) yang isinya mengatakan bahwa ternyata penggulingan Benazir pada 1990 oleh Presiden Ghulam Ishaq Khan yang tengah berkuasa saat itu merupakan akibat dari permainan politik.

Dalam laporan tersebut juga terungkap bahwa Khan menyetujui pembayaran sejumlah 28 juta kepada sepasukan penasehat hukum untuk mengajukan 19 tuduhan korupsi terhadap Benazir dan suaminya pada rentang 1990-1992. Laporan OJP itu membuktikan bahwa Benazir telah menjadi korban sebuah balas dendam politik.

Sayangnya perjuangan Benazir akhirnya harus terhenti setelah ia tewas dalam sebuah aksi bom bunuh diri ketika ia tengah melakukan kampanye di Rawalpindi pada 27 Desember 2007 untuk meraih kembali kursi kepemimpinan yang telah dua kali terenggut dari tangannya.

Dalam pernikahannya dengan Zardari, Benazir dikaruniai dua orang anak, Bilawal Bhutto Zardari dari Asifa Bhutto Zardaqi.

Lewat kisah hidup Benazir yang tragis ini sepertinya anggapan bahwa politik itu permainan yang kotor benar adanya.





1 komentar:

Anonim mengatakan...

kalo orang mau terhun ke poltik emang harus siap2 menderita kayak gitu kalo ga mau ikut arus... salut buat Benazir!
btw lam kenal... blogmu ku-add di blogroll-ku yach...thx a lot