Total Tayangan Halaman

Translate

Kamis, 15 April 2010

Queen Elizabeth II = Queen With The Heart


pic taken from here

Ketika Putri Diana wafat dalam sebuah kecelakaan mobil di Paris, Ratu Elizabeth mendapat banyak cemoohan karena sikapnya yang cenderung terkesan dingin terhadap mantan menantunya ini. Karena kerasnya desakan publik (masyarakat Inggris), akhirnya Sang Ratu pun memberikan ijin untuk mengibarkan bendera setengah tiang di kantor-kantor pemerintah dan istana Buckhingham. Sikap Ratu Elizabeth II yang kaku pun kerap dianggap sebagai salah satu faktor yang menyebabkan hidup Putri Diana selama di istana sangat menderita hingga menderita bulimia.

Namun di balik sikap kaku dan konvensional Sang Ratu sebenarnya terdapat sosok seorang wanita hangat yang harus terlihat tangguh dan kuat. Sosok wanita yang menjadi tangguh lewat tempaan sang waktu.

Saat dilahirkan lewat operasi caesar pada 21 April 1926, Elizabeth yang bergelar Her Royal Highness Elizabeth of York ini berada di urutan ketiga dari garis penerus tahta kerajaan Inggris di belakang ayah dan pamannya, Pangeran Edward.

Tak ada yang mengira bahwa Elizabeth akan mencapai tahta kerajaan sebagai seorang ratu mengingat pewaris utama tahta kerajaan adalah Pangeran Edward dan semua orang meyakini kalau Prince of Wales tersebut suatu hari nanti akan menikah dan memiliki putra mahkota yang akan meneruskan tahta kerajaan.Tapi sejarah ternyata ingin mengukir catatan yang berbeda.

Setahun setelah naik tahta menggantikan Raja George V yang mangkat, Edward ternyata tak bisa mengingkari cintanya terhadap seorang janda asal Amerika sehingga sang raja muda ini memilih untuk melepaskan tahtanya. Kisah yang romantis bila saja jalinan cerita ini merupakan sebuah novel. Karena keputusan Edward yang lebih melepaskan tahtanya itulah maka takdir Elizabeth berjalan ke arah yang berbeda. Ayahnya, Pangeran Albert yang semula bergelar Duke of York pun akhirnya naik tahta menggantikan saudaranya dan menjadi raja George VI.

Dengan naik tahtanya sang ayah, maka Elizabeth pun otomatis menjadi putri mahkota yang akan mewarisi tahta kerajaan dari ayahnya. Catatan sejarah Elizabeth Alexandra Mary pun mulai berubah. Ia bukan lagi Princess of York yang berada di garis ketiga penerus tahta. Ia kini bergelar Her Royal Highness The Princess Elizabeth.

Elizabeth kecil dikenal memiliki hubungan yang sangat dekat dengan kakeknya, Raja George V terlebih ketika Elizabeth mendampingi kakeknya saat kakeknya sakit pada tahun 1929. Selain itu, Elizabeth yang oleh orang-orang dekatnya memiliki panggilan kesayangan "Lilibet" ini juga sangat dekat dengan adik satu-satunya, Putri Margareth yang lahir pada 1930.

Saat kecil, Elizabeth dan adiknya, Margareth mendapat pendidikan di rumah di bawah pengawasan ibu mereka dan seorang pengajar wanita bernama Marion Crawford yang kerap dipanggil "Crawfie". Mantan pengajarnya ini kemudian menulis buku berjudul "Little Princesses" yang mengisahkan mengenai masa kecil kedua putri kerajaan ini. Dalam buku tersebut diungkapkan kecintaan Elizabeth terhadap kuda dan anjing. Selain itu, buku tersebut juga menggambarkan bahwa Elizabeth merupakan orang yang sangat mengutamakan kerapian dan memiliki sikap yang bertanggung jawab.

Pernyataan Crawford itupun membuat banyak pihak mengemukakan pandangan mereka mengenai sang putri mahkota ini. Winston Churchill, mantan perdana menteri Inggris yang banyak membantu Elizabeth saat ia naik tahta menggantikan ayahnya dalam usianya yang masih sangat belia mengungkapkan betapa Elizabeth memiliki perhatian yang sangat besar terhadap anak-anak dan bayi. Sepupunya, Margareth Rhodes pun tak mau ketinggalan. Ia mengatakan bahwa Elizabeth itu merupakan seorang gadis kecil yang periang tapi juga memiliki sifat bijaksana dan baik hati.

Menyadari beban berat yang harus ditanggung putrinya sebagai pewaris tahta, kedua orang tua Elizabeth sangat berusaha memberikan masa kecil yang normal bagi Elizabeth agar ia bisa menikmati maka kecilnya sebagaimana mestinya. Karena itu pula ketika pada 1939 pemerintah Kanada menyatakan harapan mereka agar Elizabeth bisa ikut bersama kedua orang tuanya dalam kunjungan mereka ke Kanada, Raja George VI langsung menolak permintaan tersebut karena menganggap Elizabeth masih terlalu muda untuk melakukan kunjungan ke luar negeri yang memakan waktu lama.

Pada tahun 1934 Elizabeth bertemu dengan Pangeran Philip dari kerajaan Yunani dan Denmark tapi keduanya baru merasakan getar-getar cinta setelah mereka kembali bertemu di Royal Naval College di Dartmouth pada 1939 dan sejak pertemuan itu, mereka pun mulai saling berkirim surat. Saat itu Elizabeth masih berumur tiga belas tahun.

Elizabeth dan Philip akhirnya menikah pada 20 November 1947 setelah Perang Dunia II usai. Namun pernikahan mereka tidak bisa dibilang bebas dari kontroversi terlebih karena Philip merupakan bangsawan dari kerajaan asing meski ia bisa dibilang memiliki garis darah dengan kerajaan Inggris juga. Sebelum menikah Philip pun harus melepaskan gelar kebangsawanan Yunani dan Denmark-nya sehingga ia akhirnya menggunakan nama keluarga ibunya, Mountbatten di belakang namanya. Gelar kebangsawanan baru dari kerajaan Inggris pun diberikan kepada Philip yang kemudian menyadandang gelar Duke of Edinburgh dengan panggilan kehormatan His Royal Highness.

Selain gelar kebangsawanannya, Philip juga harus mengubah keyakinannya dari Yunani Ortodoks menjadi Kristen Anglikan yang dianut oleh kerajaan Inggris sejak jaman Raja Henry VIII.

Bukan hanya karena garis darah Philip saja yang rupanya menjadi kontroversi. Saudara-saudara perempuan Philip ternyata juga menjadi kerikil dalam hubungan antara Elizabeth dan Philip setelah diketahui bahwa saudara perempuan Philip menikah dengan bangsawan Jerman yang memiliki hubungan dengan Nazi yang telah mencetuskan Perang Dunia ke-2 dan hampir saja Inggris berhasil ditaklukkan Jerman setelah sebelumnya pasukan Hitler itu berhasil menaklukkan Perancis. Karena keterlibatan saudara-saudara perempuan Philip dengan Nazi itu pulalah yang menyebabkan ketiga saudari Philip yang masih hidup setelah perang dunia II dilarang untuk menghadiri pernikahan saudara laki-laki mereka dengan pewaris kerajaan Inggris Raya ini.

Selain tak dihadiri oleh ketiga saudari Philip, pesta pernikahan mereka pun tak dihadiri oleh bibi Elizabeth, Putri Mary yang menolak untuk menghadiri pesta pernikahan keponakannya tersebut karena saudara laki-lakinya, Duke of Windsor yang harus melepaskan kebangsawanannya pada 1936 karena masalah pernikahannya tak direstui itu ternyata juga tak diundang ke pesta pernikahan Elizabeth dan Philip.

Awalnya ibunda Elizabeth juga tak terlalu menyukai Philip, bahkan kabarnya ibu Elizabeth memberikan julukan Philip "The Hun" bagi menantunya itu tapi belakangan ibunda Elizabeth kepada penulis biografinya, Tim Heald mengatakan menantunya itu merupakan "The English gentleman."

Setahun setelah pernikahan mereka, Elizabeth melahirkan putra pertama mereka, Pangeran Charles yang lahir pada 14 November 1948. Putri Anne, anak kedua mereka lahir dua tahun kemudian yaitu pada 1950. Sementara Pangeran Andrew dan Edward lahir pada tahun 1959 dan 1963 saat Elizabeth telah diangkat menjadi Ratu.

Pada tahun 1951 kesehatan ayah Elizabeth, Raja George VI mulai memburuk sehingga Elizabeth pun mulai sering tampil di muka umum menggantikan peran ayahnya. Pada awal tahun 1952, Elizabeth dan suaminya, Pangeran Philip tengah berada di Kenya dan mereka direncanakan akan melakukan kunjungan kenegaraan ke Australia dan New Zealand setelah kunjungan mereka di benua Afrika tersebut. Namun pada 6 Februari 1952 saat mereka tengah berada di Sagana Lodge, sekitar 100 mil dari Nairobi, Elizabeth mendapatkan berita mengenai kematian ayahnya. Elizabeth dan Philip pun segera kembali ke Inggris. Sang Ratu baru beserta keluarganya pun pindah ke Buckingham Palace.

Atas permintaan nenek Elizabeth, Ratu Mary yang meninggal pada 24 Maret 1953, maka penobatan Elizabeth sebagai Ratu dilaksanakan di Westminster Abbey pada 2 Juni 1953. Penobatan Elizabeth ini ditayangkan lewat televisi ke seluruh negara Persemakmuran yang berada di bawah kuasa Kerajaan Inggris Raya dan disaksikan oleh 20 juta orang di Inggris sementara 12 juta orang diperkirakan mengikuti acara penobatan Sang Ratu baru ini melalui radio.

Seiring dengan jaman yang kian berubah, Elizabeth yang lahir di masa di mana sistem monarki masih menjadi ciri dari banyak negara, namun kemudian sistem monarki di berbagai negara mulai berubah dan Inggris meski masih menganut sistem pemerintahan monarki pun tak bisa bersikap tiran, hal ini pulalah yang membuat Elizabeth harus bersikap fleksibel sesuai dengan perubahan jaman.

Pada tahun 1960-an dan 1970-an, pergolakan besar menentang kolonialisme merebak di Afrika dan Karibia. Lebih dari 20 negara menyatakan kemerdekaannya dari pemerintahan Inggris dan memilih untuk mendirikan negara yang merdeka dan berdaulat. Kebijaksanaan Elizabeth sebagai ratu pun mengalami berbagai macam cobaan. Pada 1965, Ian Smith, Perdana Menteri Rhodesia yang kini telah berganti nama menjadi Zimbabwe secara sepihak mendeklarasikan kemerdekaan dari Inggris. Hal ini menyebabkan Sang Ratu menyingkirkan Smith dari pertemuan formal dan komunitas internasional pun mengenakan sanksi terhadap Rhodesia, namun rezim Smith ternyata mampu bertahan selama sebelas tahun.

Meski mendapat banyak kritikan dan pertentangan dari kaum republikan di negara-negara persemakmuran yang berada di bawah wewenang kerajaan Inggris, namun toh beberapa negara persemakmuran memilih untuk tetap setia kepada Sang Ratu dan Kerajaan Inggris Raya.

Pada November 1999 Australia mengadakan referendum untuk menentukan masa depan negeri Kangguru itu, apakah akan tetap berada di bawah naungan Kerajaan Inggris ataukah melepaskan diri dari Inggris. Di tengah gencarnya harapan kaum republikan di negeri tersebut untuk bisa melepaskan diri sepenuhnya dari Kerajaan Inggris tapi ternyata rakyat Australia memilih untuk tetap tunduk di bawah perlindungan Sang Ratu dan Kerajaan Inggris Raya.

Sebelumnya pada akhir tahun 1970-an, Kanada sempat digoncangkan oleh semangat kaum republikan. Sang Ratu sendiri menunjukkan minatnya terhadap perdebatan konstitusional Kanada. Setelah mengadakan pembicaraan dan Ratu mendapatkan informasi yang selengkap-lengkapnya mengenai substansi dan politik Kanada sehubungan dengan konstitusional di negeri daun maple itu akhirnya solusi atas kekisruhan tersebut pun bisa tercipta. Peran Parlemen Inggris di konstitusi Kanada dicabut dan Kanada tetap berada di bawah perlindungan Kerajaan Inggris.

Dalam memoarnya, Pierre Trudeau, Perdana Menteri Kanada saat itu mengungkapkan kekagumannya terhadap Sang Ratu yang dalam setiap kesempatan tak hanya memperlihatkan keanggunannya di hadapan publik tapi ternyata Sang Ratu memiliki kebijaksanaan yang diperlihatkannya dalam percakapan pribadi dengannya.

Sepanjang perjalanan tahtanya, Sang Ratu telah mengalami berbagai macam hal yang menuntutnya untuk bersikap tegas namun tetap menjaga keanggunannya dan integritasnya sebagai seorang pemimpin tertinggi Kerajaan Inggris dan negara-negara persemakmuran yang berada di bawah naungannya. Ketidaktahuan rakyat mengenai pribadi Sang Ratu inilah yang kerap memojokkan Ratu dan keluarga kerajaan terutama ketika Sang Ratu diterpa berbagai masalah mengenai kehidupan pernikahan anak-anaknya.

Dalam setiap kesulitan yang dihadapinya, Ratu selalu memperlihatkan ketenangannya dan sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan. Jauh sebelum mengalami goncangan hebat sehubungan dengan pernikahan putra tertuanya, Elizabeth bahkan harus menghadapi perang besar. Perang dalam arti yang sebenar-benarnya.

Ketika Perang Dunia II meletus pada September 1939, Elizabeth masih merupakan gadis remaja. Elizabeth dan Margareth diusulkan untuk diungsikan ke Kanada mengingat kekuatan Nazi yang semakin besar terlebih ketika pasukan Nazi Hitler berhasil menduduki Perancis. Inggris saat itu benar-benar berada di ujung tanduk. Keselamatan keluarga kerajaan terutama dua putri yang masih belia ini pun ikut terancam dengan pergerakan pasukan Hitler yang semakin dekat dengan ambisinya untuk menguasai Eropa dan dunia.

Namun ibunda Elizabeth yang memiliki nama seperti dirinya itu dengan tegas menolak usulan untuk mengungsikan kedua putrinya. "Anak-anakku tidak akan pergi tanpaku. Aku tidak akan pergi tanpa Raja dan Raja takkan pernah pergi meninggalkan negerinya," tegas sang ratu kala itu. Keteguhan ibundanya itu sepertinya menurun ke dalam diri Elizabeth. Dan lewat keteguhan ibunya saat itu, Elizabeth yang masih belia pun mendapat pelajaran berharga bahwa menjadi keluarga kerajaan bukan hanya mendapatkan hak-hak istimewa sebagai keluarga kerajaan, tapi hak-hak itu juga disertai dengan tuntutan tugas untuknya. Dan tugas utamanya adalah menjadi pelayan rakyat karena itu tak semestinya seorang raja meninggalkan rakyat di saat rakyat membutuhkan dukungan dan kekuatan dari pemimpinnya.

Pada 1940 dari Windsor Castle, suara Elizabeth untuk pertama kalinya mengudara lewat radio dalam acara BBC's Children's Hour. Elizabeth menyatakan, "Kita sama-sama mencoba untuk membantu para prajurit kita yang gagah berani baik di angkatan darat, laut, maupun udara, dan kita juga bersama-sama berusaha untuk mengatasi ketakutan dan kesedihan kita atas perang yang tengah terjadi. Kita semua tahu bahwa pada akhirnya perang ini akan berakhir dan semua akan kembali baik."

Keyakinan yang dikumandangkan Elizabeth tersebut benar-benar menjadi kenyataan. Nazi dan Hitler tumbang. Pada hari kemenangan itu, Elizabeth dan adiknya, Margareth pun berbaur bersama kerumunan rakyat yang memadati jalan-jalan di London untuk merayakan kemenangan besar itu. Kenangan itu kiranya membekas dalam hati Elizabeth yang dalam sebuah wawancara mengisahkan pengalamannya saat itu di mana ia dan adiknya meminta ijin pada kedua orang tuanya agar boleh keluar dan menyaksikan keramaian perayaan tersebut bersama rakyat. Mereka sempat takut tak diberi ijin.

Elizabeth juga terkesan  ketika ia dan adiknya bergandengan tangan bersama orang-orang yang tak dikenal berjalan melewati Whitehall tanpa ada perbedaan status sosial mengenai dirinya dan rakyat kebanyakan. Semuanya menjadi satu dalam gelombang kegembiraan atas kemenangan besar tersebut.

Dua tahun kemudian saat ia genap berumur 21 tahun, ia melakukan debut kunjungan kenegaraannya. Bersama kedua orang tuanya ia melakukan kunjungan ke Afrika Selatan. Dan Elizabeth dalam acara yang disiarkan di radio ke seluruh negara-negara persemakmuran Inggris dari Afrika Selatan mengikrarkan komitmennya sebagai pelayan rakyat. Ia menyatakan akan mengabdikan seluruh hidupnya untuk melayani rakyat dan ia juga mengharapkan bantuan dan peran serta seluruh rakyat untuk membantunya dalam tugas-tugasnya tersebut untuk kemajuan kerajaan dan seluruh rakyat.

Demi janjinya itu pula dalam segala kesempatan Elizabeth selalu berusaha untuk memahami kehendak rakyatnya bahkan ketika ia dan keluarga kerajaan mendapat sorotan tajam dari media dan rakyat seperti pada tahun 1980-an ketika kritikan publik terhadap keluarga kerajaan sangat besar. Popularitas Elizabeth bahkan sempat menurun tajam ke titik terendah pada tahun 1990-an. Atas desakan publik akhirnya Ratu untuk pertama kalinya membayar pajak dan ia pun memberikan ijinnya membuka Buckingham Palace untuk umum. Kritikan terhadap Elizabeth dan keluarga kerajaan makin tajam dan mencapai puncaknya saat Putri Diana, bekas menantunya tewas dalam kecelakaan mobil di Paris. Ratu dianggap memiliki peran dan andil dalam kesulitan yang dihadapi Diana dan bahkan Ratu juga yang telah menganjurkan agar Diana dan Charles bercerai. Setahun setelah perceraiannya itu, ternyata Diana tewas dalam sebuah kecelakaan mobil dalam aksi kejar-kejaran dengan paparazi di sebuah terowongan di Paris. Ratu saat itu hanya bisa tertunduk di depan sorotan tajam jutaan pasang mata rakyat banyak yang datang untuk memberikan penghormatan dan menunjukkan kecintaan mereka terhadap Sang Putri yang telah terbuang.

Memang atas saran dari Ratu akhirnya keluarga pewaris pertama tahta kerajaan Inggris itu berakhir dengan perceraian. Tapi tindakan Ratu ini pun dilakukan untuk menyelamatkan wibawa keluarga kerajaan yang makin hancur akibat perseteruan putra mahkota dengan istrinya sehingga keluarga kerajaan menjadi santapan empuk media Inggris yang terkenal berlidah tajam. Elizabeth yang sejak kecil dididik untuk menjaga nama baik keluarga kerajaan karena merupakan simbol keagungan dan kebesaran dari Inggris Raya tentunya merasa pertikaian putra sulung dan menantunya itu cepat atau lambat akan merusak kredibilitas keluarga kerajaan yang pada akhirnya akan menimbulkan reaksi negatif terhadap kerajaan. Tentu saja sebagai seorang ratu sekaligus ibu, Elizabeth harus segera bertindak untuk menyelamatkan keluarga dan negaranya.

Tentunya Elizabeth tak berniat menyakiti hati menantunya, Diana yang telah menjadi putri yang sangat dicintai oleh banyak orang di seluruh dunia berkat kecantikan dan kepeduliannya terhadap orang-orang terbuang seperti penderita kusta dan cacat. Diana sendiri mengaku bahwa ia sebenarnya tak mengharapkan perceraian tapi pertikaiannya dengan suaminya yang telah memiliki wanita idaman lain bahkan sebelum pernikahan mereka itu memang sepertinya tak ada solusi yang lebih baik bagi mereka berdua selain perceraian.

Elizabeth juga pastinya tak menyangka bila pada 31 Agustus 1997, setahun setelah perceraiannya, bekas menantunya itu harus tewas terbunuh dalam kecelakaan mobil di Paris. Saat berita kematian mantan menantunya itu disampaikan, Ratu bersama putranya dan cucu-cucunya tengah berlibur di Balmoral. Sebagai seorang nenek, Elizabeth pun melakukan perannya dengan menjadi pelindung bagi kedua cucunya, Pangeran William dan Harry yang berduka atas kematian ibu mereka. Elizabeth menjaga kedua cucunya itu dari perhatian media yang dianggap telah membunuh Diana, ibu mereka dan menjaga mereka di Balmoral sehingga kedua pangeran itu bisa melepaskan kesedihan mereka secara pribadi.

Namun sikap Ratu dan keluarga kerajaan itu ternyata makin meningkatkan sikap antipati rakyat terhadap keluarga kerajaan. Rakyat yang tengah mengharu biru dan berduka atas kehilangan Putri tercinta mereka pun melampiaskan kemarahan mereka terhadap sang ratu sehingga atas anjuran Perdana Menteri saat itu, Tony Blair, Ratu pun akhirnya setuju juntuk tampil di televisi yang disiarkan ke seluruh dunia pada 5 September. Dalam kesempatan itu Ratu mengungkapkan kekagumannya pada bekas menantunya, Diana atas semua kontribusi dan peran yang telah dilakukan Diana. Elizabeth juga menguraikan perasaannya sebagai "seorang nenek" yang merasa perlu untuk melindungi cucu-cucunya, Pangeran William dan Harry. Penampilan Elizabeth itu akhirnya berhasil mencairkan kemarahan dan emosi publik setelah kematian Diana. Publik yang semula memusuhinya pun berbalik menghormatinya.

Perceraian putra sulungnya bukanlah satu-satunya yang terjadi di dalam keluarga kerajaan. Pada 28 April 1992 putri semata wayang Elizabeth, Putri Anne bercerai dari suaminya Mark Phillips yang dinikahinya pada 14 November 1973, padahal mereka telah dikarunia dua orang anak, Peter Phillips dan Zara Phillips. Putri Anne kemudian menikah lagi dengan Timothy Laurence pada 12 Desember 1992. Pangeran Charles pun usai kesedihan rakyat atas kematian mantan istrinya mereda pada 9 April 2005 melangsungkan pernikahan keduanya dengan kekasih hatinya sejak lama, Camilla Parker Bowles. Wanita yang telah menyebabkan keretakan dalam hubungannya dengan Diana.

Perceraian juga menimpa putra ketiga sang ratu, Pangeran Andrew yang bergelar Duke of York. Andrew dan Sarah Ferguson yang menikah pada 23 Juli 1986 itu pun tak bisa terlepas dari aib perceraian yang menimpa keluarga kerajaan. Perceraian mereka berlangsung tiga bulan sebelum perceraian Charles dan Diana tepatnya pada 30 Mei 1996. Keduanya dianugrahi dua orang putri, Beatrice dan Eugenie.

Namun untungnya di balik berbagai berita miring mengenai perceraian yang menimpa keluarga kerajaan terselip berita bahagia. Putra bungsu Elizabeth, Pangeran Edward yang bergelar Earl of Wessex yang lebih sering berkecimpung dalam dunia seni dan budaya akhirnya menikah pada 19 Juni 1999 dengan Sophie Rhys-Jones. Tentunya Elizabeth berharap pernikahan putra bungsunya ini bisa berlangsung lama seperti pernikahannya dengan Pangeran Philip dan tak berakhir dengan perceraian seperti yang menimpa anak-anaknya yang lain.

Jauh sebelum perceraian menimpa anak-anaknya, Elizabeth bahkan telah terlebih dulu harus menghadapi perceraian yang menimpa adik satu-satunya, Putri Margareth yang bercerai dari Earl of Snowdon pada 1978.

Dulu sekali saat persiapan penobatan Elizabeth sebagai Ratu setelah ayahnya, George VI meninggal dunia, Putri Margareth, adik Elizabeth mengatakan pada kakaknya keinginannya untuk menikahi Peter Townsend, seorang duda dari rakyat biasa dengan dua anak. Tentu saja hal ini bisa menimbulkan kegemparan bagi publik karena bukan hanya status Townsend tapi usia mereka pun terpaut cukup jauh. Townsend lebih tua enam belas tahun dari Margareth. Namun Elizabeth sangat menyayangi adik semata wayangnya ini, ia hanya meminta agar rencana pernikahan mereka itu ditunda selama setahun. Namun belakangan atas saran dari berbagai pihak akhirnya Margareth membatalkan rencanya untuk menikahi Townsend. Margareth kemudian menikah dengan Antony Armstrong, 1st earl of Snowdon. Sayangnya pernikahan mereka tak bisa berlangsung lama seperti kakaknya. Setelah bercerai dengan Armstrong, Margareth tidak menikah lagi.

Tahun 2002, tahun perayaan Golden Jubille-nya, Elizabeth harus kehilangan dua orang yang sangat dicintainya. Adiknya, Margareth meninggal dunia pada bulan Februari dan sebulan kemudian, pada bulan Maret, ibunda Elizabeth meninggal dunia menyusul putri bungsunya.

Ratu Elizabeth II telah menunjukkan kesetiaannya terhadap kerajaan Inggris. Dengan gaya aristokrat dan ketenangannya, Elizabeth telah melewati berbagai masalah dan badai yang menerpa hidupnya dan keluarganya. Namun Elizabeth tak pernah goyah oleh terpaan angin kencang itu. Sebaliknya, ia tetap kukuh berdiri. Dan seperti janjinya saat ia masih belia, ia melakukan semuanya demi pengabdiannya kepada rakyat yang sangat dicintainya itu. Tak heran bila kemudian Sang Ratu yang meski sempat mendapatkan kritikan tajam dan sorotan media namun tetap mendapat tempat yang istimewa di hati rakyatnya. Karena takdir yang tak terduga, Elizabeth bisa mencapai tahtanya sebagai seorang ratu dan Elizabeth tak berniat mengkhianati takdirnya itu untuk mengabdikan hidupnya sepenuhnya bagi rakyatnya.

4 komentar:

Grace Receiver mengatakan...

Queen Elizabeth cantik banget ya?

alice in wonderland mengatakan...

wow... ulasannya panjang sekali tapi enak dibaca kok. Ada lho filmnya ratu elizabeth waktu kematian Diana... di situ dikisahkan Ratu sebenarnya bukannya gak suka kok ama menantunya.... Gmana kalo nyeritain ttg Ratu Elizabeth yg disebut Virgin Queen?

air mengatakan...

Iya, heran juga seh, koq Pangeran Charles jelek ya, ga secakep nyokapnya, he...he....

air mengatakan...

Iya, aku juga pernah denger tentang filmnya tuh, Alice. Tapi kalo Virgin Queen baru denger tuh....