Total Tayangan Halaman

Translate

Sabtu, 01 Januari 2011

Kemasan

Waktu aku bekerja di sebuah perusahaan pembuat tabung untuk percetakan kemasan plastik, atasanku pernah mengungkapkan keyakinannya bahwa usaha yang digelutinya itu takkan pernah tamat selama masih ada manusia yang setia menjadi konsumen berbagai produsen barang atau jasa. Di dunia yang sarat dipenuhi sistem kapitalisme dimana peradaban manusia bergerak menuju peradaban konsumerisme, pendapat bekas atasanku itu kurasa memang tak salah. Sepanjang budaya konsumerisme masih melekat dalam kehidupan manusia maka industri kemasan yang pada akhirnya memberikan dampak positif pula bagi perusahaan bekas atasanku itu sebagai produsen pembuat cetakan untuk kemasan.

Rasanya memang hampir tak ada satupun barang ataupun jasa yang tak membutuhkan industri kemasan. Mulai dari produsen makanan hingga pelayanan jasa seperti bank ataupun lembaga publik kerap menggunakan jasa industri percetakan kemasan seperti ini untuk mempromosikan institusi maupun produk yang ditawarkannya. Meski setiap kemasan berbeda tapi semuanya memiliki satu kesamaan. Semua produsen ini pastinya berusaha membuat tampilan kemasan semenarik mungkin untuk mempertinggi nilai fungsi dari produk atau jasa yang mereka tawarkan. Tak jarang pula konsumen kerap merasa tertipu oleh tampilan kemasan yang menarik dan terkesan bagus tapi ternyata produknya tak sebagus atau seistimewa seperti apa yang ditampilkan oleh kemasan yang membalut produk tersebut.

Aku merasa seperti itu pula dengan manusia. Kerap kita berlomba tampil dengan kemasan sebagus dan semenarik mungkin hingga kita akhirnya merasa jenuh karena kita terlalu lelah untuk memberi kesan lewat kemasan yang ingin kita tampilkan tapi kita lupa melihat ke dalam diri kita dan bertanya apa yang sebenarnya tujuan dari hidup kita yang sesungguhnya. Kita lebih peduli dengan apa yang dikatakan oleh orang lain tanpa benar-benar bertanya pada diri sendiri apa yang paling diinginkannya. Kita terlalu takut dengan apa yang dikatakan orang hingga tak pernah memberi ruang dan waktu terhadap apa yang dikatakan oleh hati nurani kita sendiri. Bukan bermaksud sok menggurui tapi pendapatku ini muncul dari sebuah kisah di suatu hari natal.

Suatu hari natal ada seseorang yang berniat pergi ke gereja. Ia sudah mengenakan pakaian yang dianggapnya paling terbaik yang dimilikinya. Sebelum ke gereja ia mampir ke rumah seorang rekannya untuk mengajaknya pergi ke gereja bersama. Tapi begitu rekannya melihat pakaiannya, rekannya langsung mencelanya dan mengatakan bahwa pakaiannya lusuh meskipun ia merasa pakaiannya tak lusuh dan masih terlihat pantas dipandang. Namun rekannya ini berkeras bahwa pakaiannya itu lusuh dan tak pantas untuk dikenakan ke gereja. Si rekan itu bahkan berbaik hati meminjamkan bajunya untuk dipakai olehnya. 

Awalnya ia masih bersikukuh dan memilih tetap mengenakan pakaiannya sendiri tapi rekannya ini terus mendesaknya untuk mengganti pakaiannya dengan baju yang dipinjaminya itu. Akhirnya karena segan dan sungkan atas niat baik yang sudah ditunjukkan oleh rekannya, maka ia pun menyerah dan mengenakan pakaian yang dipinjamkan oleh rekannya itu meski sebenarnya di dalam hatinya ia tak bisa menerima baju yang dipinjamkan oleh rekannya ini karena baju pinjaman itu bau apek karena mungkin sudah terlalu lama disimpan di dalam lemari baju. Tapi ia takut menyinggung perasaan rekannya ini sehingga ia memilih diam dan tak berkomentar mengenai bau apek baju yang dipinjamkan oleh rekannya itu dan mengenakannya.

Setiba di gereja ia makin merasa tak nyaman karena bau apek yang tercium dari baju pinjaman yang dikenakannya itu sehingga sepanjang misa natal ia hanya membatin dalam hatinya yang mungkin sudah penuh dengan gerutuan pada rekannya sementara rekannya duduk tenang di sampingnya tanpa menyadari suasana hati orang di sampingnya yang malah jadi makin minder karena merasa setiap orang di sekitarnya merasa tak nyaman oleh bau apek yang tercium dari pakaian yang dikenakannya. 

Sepulang dari gereja ia masih tersenyum pada rekannya sementara di dalam hatinya ia masih terus mendongkol pada rekannya itu. Lalu apa yang didapati oleh orang ini setibanya di rumah? Natal yang biasanya dihiasi oleh tema penuh kesan kasih dan damai tapi orang ini tak bisa pulang dengan hati damai karena sepanjang misa natal hingga di rumah ia hanya mendongkol dan menggerutu dalam hati. Sepanjang misa natal ia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia terlampau sibuk memikirkan apa yang mungkin dikatakan orang-orang sekitarnya mengenai bau apek yang tercium dari baju pinjaman yang dikenakannya hingga tak bisa benar-benar menikmati misa natalnya kali itu.

Dari kisah ini aku tak bermaksud menyimpulkan siapa yang jahat dan siapa yang bodoh. Si rekan yang meminjamkan pakaiannya mungkin terkesan jahat dan culas karena meminjamkan pakaian yang bau apek tapi kuyakin si rekan ini pun sebenarnya memiliki maksud hati yang tulus karena ingin membuat temannya itu tampil baik di misa natal meski sebenarnya tampil baik itu berbeda dengan apa yang ada dalam benak temannya. Sementara temannya yang mungkin terlihat bodoh dan munafik karena tak berani mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya dan hanya bisa mendumal dan mendongkol dalam hati tanpa memiliki keberanian mengungkapkan perasaan dan keberatannya ini pada rekannya pun kurasa tak bisa sepenuhnya dianggap begitu. Mungkin ia merupakan tipe orang yang tak suka berkonfrontasi sehingga tak berani mengungkapkan perasaannya itu. Mungkin ia hanya berusaha menjaga hubungan di antara mereka agar tetap terjalin baik sehingga ia tak berani terang-terangan menolak dan mengatakan baju yang dipinjamkan oleh temannya itu bau apek karena tak ingin melukai perasaan rekannya meski akibatnya ia harus merasa tak nyaman sepanjang misa natal. Tapi kemudian apa yang bisa dipetik dari kisah ini?

Yang kupetik dari kisah ini adalah betapa sebenarnya manusia itu amat rapuh dan kerap kerapuhannya itu harus ditutupi oleh kemasan yang tampak indah untuk menutupi kerapuhannya. Si peminjam baju menutupi kerapuhannya akan egonya yang ingin tampil sebagai peri baik hati dengan meminjami baju kepada temannya. Ego untuk selalu ingin dipuji dan dianggap sebagai seorang yang toleran terhadap keadaan sesamanya. Sementara orang yang dipinjami baju menutupi kerapuhannya akan rasa rendah diri dan ketakutannya akan melukai perasaan orang lain dengan mengulasnya dalam senyum dan sikap diamnya yang sebenarnya justru mungkin makin memperapuh hubungannya dengan rekannya itu. Padahal mungkin saja bila ia mengungkapkan dengan tegas penolakannya, rekannya itu bisa memahami dan keduanya bisa membawa makna natal yang lebih berkesan untuk kehidupan mereka masing-masing.

Dari kisah natal ini aku jadi berpikir betapa kita sebagai manusia kerap menjustifikasi sesama berdasarkan penampilan luar. Kemasan yang seharusnya merupakan pendukung dari apa yang ada di dalam diri manusia justru kerap kali malah mengaburkan nilai yang ada di dalamnya itu. Kita kerap menutupi kekurangan dan kerapuhan kita di balik selubung kemasan berlabel tanpa menyadari bahwa sebagus apapun kemasan yang menyelubungi kita tetap saja kita tak bisa menutupi apa yang tersembunyi di dalam hati kita ini di hadapan Sang Pencipta. 

Setiap akhir tahun entah mengapa selalu saja ada perasaan nelangsa yang merayapi hatiku. Mungkin karena aku merasa selalu saja gagal melaksanakan resolusi yang kubuat di setiap awal tahun atau mungkin pula karena cemas menghadapi ketidakpastian masa yang akan datang. Setiap akhir tahun saat aku mencoba mengurai kembali jejak-jejak langkahku sepanjang setahun aku selalu dihadapi kenyataan pahit bahwa sepanjang waktuku terisi oleh kesia-siaan. Terlalu banyak dalil dan alasan bagiku untuk menyia-nyiakan waktuku. 

Meski setiap awal tahun aku selalu semangat membuat resolusi tapi di akhir tahun aku selalu menghadapi sederetan daftar kegagalanku dalam memenuhi resolusiku. Dan meski aku mengetahui dengan pasti akar dari semua kegagalanku dalam mewujudkan resolusiku itu adalah karena kemalasan dan ketidakdisiplinanku tapi toh tiap tahun aku selalu saja menemukan dalih untuk membenarkan kelemahanku ini. Jadi mungkin daripada harus berpanjang-panjang membuat resolusi yang takkan mungkin bisa kucapai jadi mungkin hal utama yang harus kulakukan adalah menaklukkan kemalasan dan ketidakdisiplinanku! May God bless my effort.

Akhir tahun memang merupakan saat yang tepat untuk melepaskan kemasan yang membungkus kita dan kelemahan-kelemahan kita. Di dalam kesendirian kita barulah kita bisa melihat diri kita yang sebenarnya. Kita dihadapkan oleh kerapuhan kita dalam mencari berbagai alasan untuk menyia-nyiakan waktu. Dan kita baru menyadari bahwa waktu kita telah terbuang percuma justru saat kita tahu kalau kita takkan pernah bisa mendapatkannya kembali. 

Akhir kata walau sudah agak terlambat, but I still wanna wish : Merry Christmas and Happy New Year for all of us! Tahun baru memang bukan hari yang sepenuhnya baru tapi tahun baru mungkin bisa menjadi satu langkah baru bagi kita meletakkan dasar untuk mewujudkan impian kita. First step for the better ourself. First step to make the better world not just for us but for entirely lives. 

Tidak ada komentar: