Total Tayangan Halaman

Translate

Kamis, 25 Juni 2009

Spirit of Formula One




Dominasi Jenson belakangan ini membuatku hampir kehabisan kata (tapi bukan bosan dengan kemenangan Jenson karena sebagai fans aku malah berharap Jenson bisa menang sebanyak-banyaknya sampai ia berhasil mengamankan gelar dunia pertamanya seperti Michael Schumacher), tapi ternyata hasil p6 Jenson di kandangnya sendiri lebih membuatku tak bisa berkata-kata. Bukan hanya karena ia tak berhasil mengulangi kesuksesan Lewis tahun lalu yang berhasil meraih kemenangan di hadapan publiknya sendiri. Dan yang lebih lagi membuatku kehilangan kata-kata karena yang berhasil meraih kemenangan itu adalah Sebastian Vettel, pembalap Jerman yang tahun lalu membuatku tersenyum ketika lagu kebangsaan Jerman dan Italia berkumandang, membuatku terkenang pada Michael Schumacher ... lagi. Kemenangan pertama Vettel di atas lintasan kering karena pada dua kemenangan sebelumnya (GP Italia, Monza tahun lalu dan Shanghai musim ini) diraihnya saat hujan membasahi sirkuit. Vettel memang sudah menjadi target yang akan kujagokan berikutnya tapi aku tak berharap melihat Vettel mempermalukan Jenson di kandangnya sendiri.

Tahun lalu, aku memang sudah suka dengan penampilan Vettel bukan hanya karena ia pembalap Jerman yang juga dimanageri oleh Willi Weber, yang juga dikenal sebagai manager Schumacher’s brother. Tapi aku suka dengan ekspresi yang ditunjukkan Vettel saat meraih kemenangan itu. Setelah Schumi pensiun, aku rasanya tak pernah lagi melihat pembalap yang meluapkan kegembiraannya setelah meraih kemenangan begitu ekspresif seperti Schumi. Kemenangan Jenson yang pertama di Hungaria 2006 bagiku jauh lebih ekspresif dibanding ketika ia mendominasi pada musim ini. Mungkin karena Vettel dan Schumi sama-sama orang Jerman, meski dari seorang kenalanku yang pernah sekolah di Jerman bilang kalau orang Jerman itu kaku, tapi nyatanya cara mereka berdua meluapkan kegembiraan mereka di podium jauh lebih menarik dibanding pembalap formula 1 belakangan ini. Salah satu hal yang kusuka dari Schumi adalah ketika ia melompat di podium sambil mengepalkan tangannya ke udara seolah mengatakan, “Yes, we can do it again!” yang sebenarnya bukan hanya merupakan kegembiraannya seorang tapi juga team. Berapa kali pun Michael menang, ia selalu menampilkan victory leap-nya itu yang menunjukkan bahwa ia senantiasa haus kemenangan. Dan passion yang ditampilkannya itu ternyata menular juga bagi timnya yang ingin bekerja jauh lebih baik lagi agar kemenangan itu selalu dapat kembali mereka raih. Jadi kurasa, tak seharusnya seorang pembalap sok cool dengan bersikap seakan kemenangannya cuma sekadar bagian terbaik dalam salah satu moment terindah dalam hidupnya.

Setelah sekian lama tak melihat victory leap ala Schumi, pada GP Inggris kemarin akhirnya aku bisa melihat kembali victory leap itu ketika Vettel melompat di podium. Ia pantas bersuka hati. Dan tim Red Bull pantas berbangga dengan keberhasilan yang telah mereka petik. Dan mereka layak mengungkapkan ekspresi kegembiraan mereka itu. Tak peduli bahwa victory leap begitu melekat dengan Schumi karena ia yang sering melakukan lompatan itu di podium tapi kurasa setiap pembalap pasti ada keinginan untuk melompat di podium seraya mengacungkan tangannya ke udara seperti yang dilakukan Schumi jadi kenapa harus malu untuk melompat di podium(toh Schumi juga takkan minta kompensasi bila ada pembalap yang melompat di podium untuk mengungkapkan kegembiraannya meraih kemenangan)? Untungnya Vettel tak malu mengungkapkan ekspresinya itu.

Namun begitu tetap saja hatiku terasa sedikit kecewa juga karena Button tak berhasil memperlihatkan kepiawaiannya seperti yang diperlihatkannya pada awal-awal musim. Apalagi kegagalam Button meraih podium terjadi di hadapan para rekan senegaranya. Greget rasanya melihat start Jenson berantakan dan untungnya ia masih berhasil meraih p6. Lumayan juga dapat tambahan tiga poin di klasemen. Sayang, seribu sayang rasanya ketika pada lap-lap akhir menjelang finish, tunggangan JB sebenarnya dapat meraih posisi yang jauh lebih baik tapi sayangnya lap yang tersisa hanya tinggal sedikit dan hingga finish ia tak berhasil menyalip Rosberg yang ada di depannya.

Yang juga menarik dari GP Inggris kemarin adalah issue tentang balapan tandingan f1 yang dimotori oleh tim-tim pabrikan karena tak juga mencapai kata sepakat dengan Max Mosley, presiden FIA.

Menurutku pabrikan memang penting bagi Formula One tapi bukan berarti pabrikan bisa seenaknya menghancurkan Formula One begitu saja. Memang kedegilan hati Max Mosley juga menyebalkan tapi apa ini solusi terbaik dari orang-orang yang katanya mencintai Formula One? Kesal rasanya melihat para ‘politikus’ f1 itu seenaknya saja menghancurkan f1 tanpa memikirkan kepentingan para fans yang sangat setia menanti tiap balapan Formula One yang digelar bahkan sampai bela-belain tetap melek hingga tengah malam hanya untuk menonton siaran tunda qualifying f1 (tak bisa protes juga pada stasiun televisi karena biar bagaimanapun masih bagus ada stasiun televisi yang mau menayangkannya).

Balap tandingan para pabrikan mungkin lebih menarik karena diisi tim-tim papan atas dan para pembalap bintang tapi bagaimana dengan nilai balapan itu sendiri karena regulasi yang selama ini dibuat oleh FIA (sebagai regulator Formula One) kini dibuat oleh para tim pabrikan itu sendiri dan dilakukan oleh mereka sendiri. Aneh, menurutku. Dan bagaimana pula dengan Formula One yang kini hanya diisi tim-tim privateer kecil dan hanya tim Williams saja yang sepertinya merupakan tim yang memiliki sejarah dan nama di dunia Formula One.

Aku selalu beranggapan bahwa Sir Frank Williams adalah orang yang memiliki hati lebih tulus dan sungguh-sungguh mencintai dunia Formula One. Ketika ia masuk ke Formula One, ia bahkan tak tahu apa-apa tentang engineering dan seringkali timnya menelan kekalahan dan hanya jadi bulan-bulanan penghuni paddock f1 bahkan julukan Wanker (sampah) dilekatkan padanya (kubaca hal ini dari f1 racing entah terbitan kapan) hingga suatu hari seorang Colin Chapman, bos Lotus (kalau tak salah) berbaik hati mengajari Williams bagaimana membuat mobil Formula One yang bukan hanya sekadar berbentuk mobil tapi juga memiliki fungsi sebenarnya dari sebuah tunggangan Formula One. Dan perlahan setelah Frank bertemu Patrick Head (sang guru besar yang telah menghasilkan technical director handal seperti Ross Brawn dan Adrian Newey) tim Williams memperlihatkan hasil seperti yang diharapkan Sir Frank ketika mendirikan timnya. Hingga kini pun aku tetap menghargai Sir Frank dan aku yakin Sir Frank memiliki alasan kuat yang bisa dipertanggung jawabkannya pada hati nuraninya sendiri dengan memilih tetap berada di bawah FIA dan tak ikut-ikutan dengan tim-tim pabrikan . Dan kurasa Frank Williams bukan seorang penjilat apalagi anjing Mosley tapi ia sangat mencintai Formula One dan ia berharap Formula One yang dicintainya ini tidak dihancurkan oleh ego segelintir orang tidak juga oleh egonya sendiri!


Hidup tanpa ambisi memang terasa hampa karena ambisi membuat seseorang merasa hidup dan ambisi seringkali menjadi dorongan utama bagi seseorang untuk mencapai sesuatu yang membuat hidupnya jadi bernilai dan berarti. Tapi amibisi tak selayaknya diumbar dengan pemikiran picik dan sempit yang pada akhirnya menghancurkan mimpinya sendiri. Dan itulah yang terjadi pada segelintir orang yang membuat Formula One di ambang kehancuran seperti sekarang ini.

Seharusnya tim-tim pabrikan itu juga menyadari bahwa Formula One berdiri bukan hanya untuk mengutamakan kepentingan para pabrikan itu sendiri.

Beberapa tahun lalu hal yang sama juga pernah terjadi di Formula One, bukan? Ketika itu para tim pabrikan meminta pembagian jatah yang lebih besar dari iklan televisi dari Bernie Ecclestone, yang telah membuat Formula One menjadi seperti sekarang ini. Mereka kala itu mengancam akan membuat balapan tandingan tapi pada akhirnya mereka takluk pada kepiawaian Bernie. Dan sepertinya pabrikan merupakan semacam bisul bagi Formula One yang setiap saat siap meletus bila mereka tak puas pada sesuatu hal dan ujung-ujungnya selalu mengancam akan memboikot Formula One dengan membuat balapan tandingan. Benar-benar buah simalakama bagi Formula One itu sendiri. Formula one membutuhkan pabrikan untuk memperkuat Formula One sebagai ajang jet darat paling mutakhir tapi di sisi lain kehadiran para pabrikan ternyata seringkali menjadi duri dalam daging di tubuh Formula One atau lebih tepatnya FIA sebagai regulator F1 yang seringkali memiliki pandangan bersebrangan dengan tim-tim pabrikan itu.

Mungkin penting bagi para petinggi-petinggi di Formula One itu saling menekan ego masing-masing dan bertanya kembali pada diri mereka masing-masing, apa tujuan utama mereka masuk ke dalam Formula One ini? Jika tim pabrikan masuk Formula One hanya untuk menjadi ajang promosi bagi mobil-mobil jalanan produksi pabrik mereka, maka cepat atau lambat Formula One memang akan mati sendiri bukan karena adanya balapan tandingan tapi Formula One akan hancur dengan sendirinya bila tim-tim pabrikan itu tak mendapatkan hasil penjualan seperti yang mereka inginkan (seperti Honda dan Ford yang diwakili oleh kehadiran tim Jaguar di Formula One) yang lalu mengundurkan diri dari Formula One.

Dan penting bagi para ‘politikus’ f1 itu untuk mengenyampingkan segala intrik-intrik politik yang memuakkan para fans berat Formula One yang ingin melihat kelangsungan Formula One agar roh-roh para pembalap yang telah mengorbankan nyawa mereka demi kecintaan mereka pada Formula One itu senantiasa abadi.

Mungkin Mosley dan para tetua di tim-tim Formula One yang berseteru itu bertanya kembali pada hati mereka masing-masing, sebesar apakah cinta mereka pada Formula One? Apakah mereka bahagia bila melihat Formula One akhirnya hancur karena kedegilan hati mereka? Demi ego mereka masing-masing?

Alberto Ascari, Wolfgang von Trap, Jim Clark, Ronnie Petterson, Gilles Villeneuve, Ayrton Senna, dan sekian banyak para pembalap, penonton, dan para marshall yang tewas demi olahraga yang mereka cintai ini pasti takkan rela bila olahraga yang mereka cintai ini dengan segenap jiwa raga mereka hancur seperti ini. Tidakkah para petinggi Formula One itu bersedia sedikit saja berusaha menurunkan ego mereka demi para pembalap hebat itu yang jiwanya selalu abadi di hati para pecinta Formula One ini jika mereka tak bersedia melakukannya demi para fans Formula One yang sudah kadung cinta pada olahraga otomotif yang satu ini? Pada merekalah, para pembalap, penonton, dan marshall yang tewas demi memberi jiwa abadi pada olahraga otomotif ini, para petinggi Formula One itu berhutang dan seyogyanya mereka bukan hanya memaksakan apa yang ada di dalam kepala mereka tanpa mau melihat pada kedalaman hati mereka masing-masing.

Aku tak terlalu hirau dengan masalah budget cap yang telah membuat Formula One terpecah seperti ini. Aku hanya berharap Formula One yang kucintai ini tetap pada nilai sejatinya. Tapi di musim krisis seperti ini, selayaknyalah para ‘politikus’ f1 itu bersikap arif dalam menyikapi hal ini. Formula one memang sekarat tapi bukan berarti Formula One harus mati mengenaskan hanya karena ego para ‘politisi’ yang dipercayakan para pecinta Formula One untuk mengurus Formula One tapi ternyata malah menghancurkan olahraga ini! Dan semoga saja masih ada di antara para politisi itu yang masih memiliki jiwa yang murni yang memiliki keinginan untuk mengembalikan spirit of Formula One ke dalam olahraga yang lebih banyak dipenuhi intrik politik daripada nilai-nilai murni dari olahraga itu sendiri .

Entah siapa yang akhirnya memiliki kebesaran jiwa untuk kembali menyatukan Formula One kembali pada spiritnya. Spirit yang senantiasa memukau para pecinta Formula One di seluruh dunia. Spirit of Formula One!

3 komentar:

Grace Receiver mengatakan...

Kalau driver tidak loncat di podium dianggap “sok cool”, berarti driver yang loncat di podium “sok ekspresif” donk?

Grace Receiver mengatakan...

Menurut saya, fans juga bisa ikut berperan aktif, tidak melulu sebagai penonton. Kalau tidak puas dengan tayangan F1 di tv lokal, seharusnya kirim kritik-saran ke stasiun tv yang bersangkutan. Tidak puas dengan keadaan F1? Ikutan Reader Panel di web F1 Racing. Salah satu contoh kepedulian fans F1 kepada nasib F1 adalah banyaknya email yang dikirimkan fans ke tim anggota FOTA. Dari animo tsb, sedikit-banyak pasti memberi pengaruh kepada nasib F1.

air mengatakan...

Kirim email terus ke penyelenggara tv tapi kalo ga ditanggepin juga percuma, kan. At least masih bagus juga kan masih ada stasiun tv yang masih mo nyiarin f1 daripada ga sama sekali.
Masalah pembalap yang gak lompat berarti sok cool kayaknya bukan gitu deh maksudnya, tapi menurutku kemenangan bukan hal yang mudah apalagi di jagad f1 jadi ketika berhasil meraihnya kenapa tak menunjukkan ekspresi selayaknya seorang pemenang. Gitu aj d. Anyway, pembalap kan bukan frog as u ever said. But I love the one that can show their expression bcoz that show them their alive as a human. That's just my opinion and everyone deserve to show their opinion as u, coz we live in democratic country, don't we?